Tahan Suku Bunga, BI Mulai Antisipasi Terjadinya Stagflasi
Yunike Purnama - Jumat, 24 Juni 2022 07:24JAKARTA - Seperti diprediksi banyak pihak, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) edisi Juni 2022 kembali memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 3,5 persen.
Tak hanya itu, Bank Indonesia (BI) juga menahan suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen, serta suku unga lending facility sebesar 4,25 persen.
"Keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, serta tetap mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah naiknya tekanan eksternal terkait meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam keterangan resminya, Kamis, 23 Juni 2022.
- Tiga Keynote Speaker Luar Negeri Hadir di Event The 2nd GCoTIIS 2022 IIB Darmaja
- Jelang Iduladha 1443 H, Harga Daging Sapi di Bandar Lampung Stabil
- Petani Milenial Bandar Lampung Uji Coba Kembangkan Jeruk Dekopon
Menurut Perry, pihaknya tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga acuan di tengah pengetatan kebijakan moneter global. Perry juga menegaskan bahwa tingkat inflasi domestik masih aman terkendali, dengan perkiraan inflasi di kisaran 4,2 persen pada tahun ini.
Perry juga mengakui bahwa perekonomian dunia tengah dihantui risiko terjadinya stagflasi, yaitu kondisi inflasi yang melonjak tinffi namun tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi yang sesuai. Ancaman ini terutama mengintai perekonomian negara-negara di kawasan Asia.
"Dari sisi inflasi, kenaikan (harga) terjadi sebagai dampak dari konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang menyebabkan pemberlakuan kebijakan zero tolerance," tutur Perry.
- RKT FOILA 2022: Perkuat Sinergi Promosi Investasi Untuk Pertumbuhan Ekonomi Lampung
- Keren! Serial Animasi ‘Beachbuds’ Karya Anak Bangsa Dibeli Oleh Warner Bros
- Unila Terbaik Ketiga dalam Pengelolaan KIP Kuliah
Di lain pihak, sejumlah negara juga mulai menerapkan kebijakan proteksionisme guna mengamankan kepentingan domestiknya masing-masing. Kebijakan ini terutama dilakukan dalam hal pasokan pangan, seiring makin terbatasnya pasokan bahan makanan dan energi akibat konflik Rusia-Ukraina.
"Kondisi ini menahan perbaikan gangguan rantai pasokan global. Plus, guna menekan potensi inflasi di negara masing-masing, sejumlah bank sentral juga menerapkan pengetatan kebijakan moneter secara agresif, sehingga menahan pemulihan ekonomi global, sekaligus meningkatkan risiko stagflasi," tukas Perry. (*)