Simak Kaleidoskop Perbankan 2022: Tren Kenaikan Suku Bunga dan Kolaborasi dengan Fintech
Yunike Purnama - Minggu, 01 Januari 2023 09:24JAKARTA - Industri perbankan pada tahun 2022 diwarnai dengan beragam peristiwa, mulai dari tren kenaikan suku bunga hingga maraknya kolaborasi perbankan dengan perusahaan-perusahaan fintech.
Di tengah kondisi makroekonomi yang dipenuhi ketidakpastian, ditambah dengan transformasi digital yang tengah bertumbuh, terdapat beberapa peristiwa penting yang dapat dirangkum dalam catatan kaleidoskop industri perbankan 2022.
- Sepanjang 2022 Peminat SBN Ritel Tumbuh Signifikan
- Refleksi Perjalanan Indonesia 2022, Jokowi: Kita Cukup Berhasil Lewati Masa Sulit
- Berikut Shio yang Diramal Paling Cuan di 2023, Kamu Termasuk?
Berikut ini TrenAsia.com jaringan Kabarsiger.com merangkum beberapa peristiwa penting di industri perbankan sepanjang tahun 2022:
Tren Kenaikan Suku Bunga Bank Indonesia
Mengikuti tren kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) alias The Federal Reserve (The Fed), Bank Indonesia (BI) pun menempuh langkah serupa.
Pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan The Fed dan diikuti oleh bank-bank sentral lainnya ini merupakan langkah yang diambil untuk meredam inflasi yang terus merangkak.
Namun, sementara The Fed mulai mengerek suku bunga pada Maret, BI baru mulai melakukan hal yang sama pada bulan Agustus.
Pada Agustus 2022, BI mengerek suku bunga sebesar 25 basis poin, September 50 basis poin, Oktober 50 basis poin, November 50 basis poin, dan Desember 25 basis poin.
Dengan demikian, sepanjang tahun 2022, BI telah menaikkan suku bunga sebesar 200 basis poin dari posisi 3,5% pada Juli 2022 menjadi 5,5%.
Bank-bank Masuk ke Ekosistem BI-FAST
Diluncurkan pada akhir tahun 2021, Bank Indonesia Fast Payment (BI-FAST) adalah infrastruktur sistem pembayaran yang diinisiasi untuk mempercepat digitalisasi finansial dalam negeri.
Penggunaan BI-FAST ini pun diharapkan dapat mewujudkan terciptanya layanan sistem pembayaran yang “CEMUMUAH” (Cepat, Mudah, Murah, Aman, dan Andal) untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan inklusi keuangan.
Dengan adanya layanan BI-FAST, biaya transfer antarbank menjadi lebih murah, yakni sebesar Rp2.500. Sebelumnya, tanpa menggunakan BI-FAST, biaya transfer antarbank yang dikenakan pada nasabah sebesar Rp6.500.
Hingga bulan November 2022, peserta BI-FAST sudah mencapai 106 bank atau mewakili 87% dari pangsa sistem pembayaran ritel nasional.
Maraknya Akuisisi Bank Mini
Tahun 2022 menjadi momentum maraknya akuisisi bank-bank mini. Sepanjang tahun, tercatat setidaknya ada 10 aksi akusisi bank yang terjadi karena didorong oleh peraturan untuk memenuhi modal inti minimum sebesar Rp3 triliun dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Aksi akuisisi itu di antaranya PT Krom Bank Indonesia Tbk yang dicaplok oleh PT Finacel Teknologi Indonesia (Kredivo). Kemudian, PT Bank Bumi Arta Tbk yang diakuisisi oleh PT Takjub Financial Teknologi (Ajaib Sekuritas).
Selanjutnya, PT Bank Victoria Syariah diakuisisi oleh PT Victoria Investama Tbk, PT Bank Sahabat Sampoerna oleh Xendit, PT Bank Jasa Jakarta oleh PT Sedaya Multi Investama, PT Bank Mayora oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Lalu, PT Bank Maspion Indonesia Tbk diakusisi oleh Kasikorn Vision Financial Company Pte Ltd, PT Bank Amar Indonesia Tbk oleh PT Investree Radhika Jaya, dan unit bisnis consumer banking Citibank oleh UOB Group.
Emiten Perbankan Berbondong-bondong Lakukan Right Issue
Pada tahun 2022 pun sejumlah emiten perbankan berbondong-bondong melakukan aksi right issue untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum yang ditetapkan OJK.
Berikut ini 10 emiten perbankan yang melakukan aksi right issue sepanjang tahun 2022:
1. PT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS): 4,17 miliar lembar saham.
2. PT Bank Capital Indonesia Tbk (BACA): 19,94 miliar lembar saham.
3. PT Bank Oke Indonesia Tbk (DNAR): 2,93 miliar lembar saham.
4. PT Krom Bank Indonesia Tbk (BBSI): 367 juta lembar saham.
5. PT Bank JTrust Indonesia Tbk (BCIC): 3,96 miliar lembar saham.
6. PT Bank Victoria Internasional Tbk (BVIC): 4,95 miliar lembar saham.
7. PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR): 4,56 miliar lembar saham.
8. PT Bank Ganesha Tbk (BGTG): 7,5 miliar lembar saham.
9. PT Bank Raya Tbk (AGRO): 2,32 miliar lembar saham.
10. PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA): 296,85 juta lembar saham.
Moncernya Kinerja Bank BUMN karena Penyaluran Kredit yang Lebih Selektif
Bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat kinerja yang positif pada tahun 2022 seiring dengan penyaluran kredit yang lebih selektif.
Laba PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) menembus Rp30,7 triliun dengan pertumbuhan 59,4% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal III-2022.
Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengatakan, pertumbuhan laba tersebut adalah hasil dari strategi baru Bank Mandiri yang berfokus pada sektor prospektif dan merupakan bisnis turunan dari ekosistem segmen wholesale di setiap wilayah.
Kemudian, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (kode saham: BBNI) mencatat laba bersih Rp13,7 triliun dengan kenaikan 76,8% secara tahunan pada kuartal III-2022 seiring dengan penyaluran kredit yang difokuskan pada segmen berisiko rendah.
Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan bahwa pemerolehan laba bersih ini dicapai meskipun perseroan menjalankan fungsi intermediasi melalui kredit secara selektif.
Ia menjelaskan bahwa sepanjang kuartal III-2022, selain difokuskan pada segmen berisiko rendah, kredit juga diprioritaskan untuk debitur top tier di setiap sektor industri yang prospektif.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI pun berhasil mencetak laba bersih senilai Rp39,31 triliun pada kuartal III-2022. Capaian ini naik 106,14% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Direktur Utama BRI Sunarso mengungkapkan BRI berhasil mencetak kinerja yang mengesankan berkat keberhasilan transformasi di tengah beragam tantangan ekonomi global termasuk ancaman resesi.
Sunarso menjelaskan BRI telah menerapkan strategic response untuk menghadapi berbagai tantangan dan merespons berbagai kebijakan yang diberikan oleh pemerintah.
Respons strategis yang dimaksud yakni penyaluran kredit maupun penghimpunan dana masyarakat yang tetap tumbuh positif.
Terakhir, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) membukukan laba bersih hingga akhir September 2022 senilai Rp2,28 trililun. Perolehan tersebut melonjak 50,11% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp1,51 triliun.
Menurut Direktur Utama Bank BTN Haru Koesmahargyo, kenaikan laba bersih perseroan ditopang oleh keberhasilan Bank BTN menjalankan inisiatif strategis di kuartal III/2022 antara lain peningkatan penyaluran kredit, biaya dana (cost of fund) yang berhasil ditekan seiring dengan peningkatan penghimpunan dana murah.
Selain itu, lonjakan laba bersih pun didukung oleh perbaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang terus menurun hingga akhir September 2022.
Haru mengatakan, penyaluran kredit yang berkualitas dengan melakukan sentralisasi proses kredit telah berhasil membuat rasio kredit bermasalah BTN terus membaik.
- QLola by BRI, Platform Solusi Terintegrasi untuk Nasabah Korporasi
- Cek Harga Emas Antam di Pegadaian Senin, 26 Desember 2022
- Ancaman Gelombang Tinggi 6 Meter, Pesan Kemenhub Jangan Paksa Berlayar
Anjloknya Saham-saham Bank Digital
Setelah entitas bank digital menjadi tren pada tahun 2021, tahun 2022 menjadi saksi atas anjloknya performa saham-saham bank digital.
Jika dihitung dari awal tahun hingga perdagangan 28 Desember 2022, PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) mencatat penurunan harga saham hingga 74,71% dari Rp2.570 ke posisi Rp650.
Kemudian, PT Bank Jago Tbk (ARTO) mencatat penurunan 79,68% dari Rp17.325 pada awal tahun ke posisi Rp3.520 pada 28 Desember 2022.
Saham PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO) pun mengalami pelemahan 76,56% dari Rp1.715 menjadi Rp402 perlembar.
Lalu, saham PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) mengalami penurunan 59,84% dari Rp4.419 pada awal tahun menjadi Rp1.775 perlembar pada 28 Desember 2022.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nafan Aji Gusta Utama menilai kinerja pergerakan bank digital lebih cenderung dipengaruhi kekhawatiran adanya faktor resesi global yang terjadi akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
“Jadi otomatis sentimen negatif adanya ancaman resesi ini membuat para pelaku pasar lebih bersifat hati-hati dalam memilih suplemen saham. Mereka cenderung untuk menghindari bank digital," kata Nafan kepada TrenAsia.com pada Senin, 12 Desember 2022.(*)