Bank Mandiri
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Yunike Purnama
JAKARTA – Pemerintah resmi menaikkan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar sekitar kurang lebih 30% pada 3 September 2022.
Keputusan pemerintah ini didasari oleh anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 yang telah meningkat sekitar tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun.
Direktur PT Insight Investments Management, Ria Meristika Warganda mengatakan momen kenaikan BBM dapat berimbas pada inflasi yang cukup berkepanjangan.
Untuk itu diharapkan agar para Investor dapat melihat kembali pengaruh kebijakan kenaikan harga BBM terhadap kinerja investasi dari instrumen investasi yang akan mereka pilih. Menurut Ria, salah satu pilihan instrumen investasi yang dapat diandalkan dalam kondisi ketidakpastian yaitu Reksa Dana Pasar Uang.
Hal ini dapat ditilik secara lebih dalam lagi bahwa terdapat hal menarik yang dapat diamati pada kinerja Indeks Reksa Dana Infovesta Money Market Fund Index yang tetap tumbuh stabil dan tidak mengalami volatilitas yang berarti selama satu tahun setelah kenaikan harga BBM bersubsidi yang signifikan. Dari aspek pertumbuhan UP (Unit Penyertaan) reksa dana pasar uang, juga terlihat masih tumbuh 11,4% pada periode yang sama.
"Hal ini menunjukkan strategi investasi dari berbagai investor yang beralih ke reksa dana pasar uang untuk menghindari dampak negatif dari volatilitas pasar," kata Ria dalam risetnya, dikutip Selasa 20 September 2022.
Ia menjabarkan, kebijakan serupa juga pernah dilakukan pemerintah 8 tahun silam, tepatnya pada 17 November 2014. Kala itu pemerintah menaikkan BBM bersubsidi jenis Premium dari Rp6.500 per liter menjadi Rp8 500 per liter atau kurang lebih 30% besaran kenaikan harga.
Kebijakan ini berimbas pada kenaikan tingkat inflasi pada bulan November 2014 yang melonjak ke 6,23% secara tahuban versus tingkat inflasi bulan sebelumnya Oktober 2014 di 4.83%. Kenaikan inflasi ini berlanjut memuncak pada bulan Desember 2014 dan tingkat inflasi baru ternormalisasi hingga satu tahun berikutnya, yakni pada November 2015.
Imbas dari kenaikan inflasi yang signifikan pada November dan Desember 2014 tersebut, Bank Indonesia mengambil kebijakan menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,25%, dari 7,5% menjadi 7,75%. Kebijakan moneter ini perlu diambil untuk meredam kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan jasa, setelah kebijakan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi diberlakukan.
Naiknya harga BBM dan suku bunga juga turut serta membuat pertumbuhan ekonomi (PDB) ikut melemah, ini terlihat dengan melemahnya angkat pertumbuhan PDB pada tiga kuartal di tahun 2015 walaupun pada akhirnya pada kuartal keempat tumbuh hingga menembus level +5.05% secara tahunan.
Berkaca dari data historis 2014, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi 2022 juga punya potensi dampak kenaikan inflasi. Dari setiap 10% kenaikan harga BBM jenis Pertalite akan berpotensi menaikkan inflasi sekitar 0,27% dan memotong laju pertumbuhan ekonomi sekitar -0,06%.
Untuk kenaikan BBM jenis Pertalite sendiri kenaikannya sekitar 30% (Rp7.650 menjadi Rp10.000), artinya ada potensi dampak kenaikan inflasi hampir 1% dan perlambatan pertumbuhan ekonomi sekitar -0,18%.
“Mengacu pada data historis kinerja produk reksa dana di tengah kenaikan BBM, terlihat bahwa berinvestasi pada reksa dana pasar uang bisa menjadi salah satu pilihan yang baik. Terutama pada saat kondisi ekonomi dan pasar finansial masih berpotensi mengalami berbagai ketidakpastian dan volatilitas tinggi.” (*)