Investasi
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Yunike Purnama
JAKARTA - Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan, sampai dengan tahun ketujuh implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), cakupan kepesertaan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsosnaker) baru mencapai 23,39% dari angkatan kerja yang didominasi oleh peserta penerima upah (PPU).
Cakupan kepesertaan peserta bukan penerima upah (BPU) masih sangat rendah dibandingkan dengan PPU.
Data kepesertaan program Jamsosnaker per Oktober 2021 menunjukkan, cakupan kepesertaan program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) peserta BPU hanya sebesar 6,96%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan cakupan kepesertaan PPU yang telah mencapai 39,17%. Demikian juga dengan Program JHT hanya sebesar 0,60% untuk BPU dibandingkan dengan PPU yang telah mencapai 22,83%.
Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah pekerja informal (55,72%) yang merupakan bagian yang lebih besar dibandingkan dengan pekerja formal (44,28%). Rendahnya cakupan kepesertaan BPU mengakibatkan timbulnya kerentanan bagi pekerja mandiri terhadap risiko kerja yang dihadapinya khususnya bagi pekerja miskin dan pekerja tidak mampu.
“Pemerintah perlu memberikan perlindungan Jamsosnaker bagi pekerja miskin dan pekerja tidak mampu. Ini sebagai salah satu cara untuk mendorong percepatan penurunan angka kemiskinan ekstrem dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna menuju Indonesia emas tahun 2045,” kata anggota DJSN Muttaqien.
DJSN merekomendasikan opsi kebijakan dan mekanisme pembiayaan PBI Jamsosnaker. Opsi pertama, implementasi PBI Jamsosnaker dilakukan secara bertahap, diawali dengan program JKK/JKM untuk pekerja miskin sampai tahun 2024. Iuran PBI JKK dan JKM (Iuran segmen BPU) yakni Rp 16.800 per orang.
Tahap selanjutnya, dalam rangka stimulus untuk pengembangan dan perluasan perlindungan diberikan kepada BPU kemitraan dan PPU mikro dengan skema parsial subsidi/ matching contribution untuk program JHT.
“Target sampai dengan tahun 2024 sebanyak 20 juta penerima bantuan iuran (PBI) Jamsosnaker, dengan kebutuhan anggaran per tahun sebanyak Rp 4,03 triliun,” ujar Muttaqien.
Opsi kedua, untuk pengembangan dan perluasan perlindungan diterapkan skema graduasi pekerja miskin berubah menjadi pekerja tidak mampu dan dalam rangka mendorong kepesertaan BPU kemitraan dan PPU mikro diberlakukan skema parsial subsidi/ matching contribution untuk program JHT.
Implementasi PBI Jamsosnaker Opsi kedua tersebut dilakukan untuk program JKK, JKM dan JHT, dengan alternatif kebijakan sebagai berikut:
DJSN menyebutkan, skema graduasi PBI Jamsosnaker dilakukan dengan pendekatan berbasis stimulus melalui mekanisme berikut.
Atas opsi-opsi tersebut, DJSN mengatakan, Pengaturan PBI Jamsosnaker dilakukan secara terintegrasi dengan regulasi PBI Jaminan Kesehatan dalam RPP PBI Jaminan Sosial.
“DJSN merekomendasikan kebijakan PBI Jamsosnaker dengan menggunakan Opsi 1 yaitu PBI Jamsosnaker diberikan kepada BPU Mandiri untuk program JKK dan JKM,” ucap Muttaqien.
Setelah evaluasi atas implementasi PBI Jamsosnaker Opsi 1, dapat dilakukan pengembangan secara bertahap dengan menggunakan Opsi 2.(*)