Tarif Ojol Tidak Perhitungkan Daya Beli Masyarakat, Pemerintah Belum Lakukan Kajian Mendalam
Eva Pardiana - Senin, 15 Agustus 2022 12:03BANDAR LAMPUNG – Pengamat Kebijakan Publik Sulawesi Selatan Rizal Pauzi menilai aturan mengenai kenaikan tarif transportasi online dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564/2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi harus dikaji ulang sebab tidak memperhitungkan komponen-komponen penting lainnya yang turut berpengaruh.
Ia memaparkan, dalam Keputusan Menteri Perhubungan tersebut pada poin B disebutkan perhitungan biaya jasa pengguna transportasi online atau ojek online (ojol) telah berdasarkan hasil survey dan analisis. Namun, komponen yang dimasukkan hanya biaya kendaraan, tanpa memperhitungkan daya beli dan kondisi perekonomian masyarakat.
Penetapan tarif ojol, seharusnya tidak hanya menghitung biaya kendaraan tapi harus melibatkan masyarakat, salah satunya memperhitungankan Ability To Pay (ATP) yaitu kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan yang diterimanya. Serta Willingness To Pay (WTP) yakni kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya.
"Itu yang membuat kebijakan ini berbahaya bagi transportasi online. Kenaikan harga ini membuat tarif yang ditetapkan tidak jauh berbeda dengan taxi. Sehingga implikasinya adalah terjadi perpindahan moda transportasi dari yang sebelumnya banyak menggunakan ojol, kini beralih lagi menggunakan transportasi umum. Hal itu justru meresahkan driver karena akan menurunkan jumlah konsumen," ungkap Rizal Pauzi yang juga akademisi Universitas Hasanuddin Makassar kepada Kabar Siger, Jumat 12 Agustus 2022.
- 53 Tahun Agung Podomoro, Terus Berinovasi Bangkitkan Industri Properti Tanah Air
- Realisasi Penerimaan Pajak Hingga Juli 2022 Capai Rp1.028,5 Triliun
- Pertahankan Nol Kasus PMK, Pemkot Bandar Lampung Gencarkan Disinfeksi Kandang
Tidak diperhitungkannya komponen daya beli masyarakat dan kondisi perekonomian tersebut, lanjut Rizal, mengindikasikan pemerintah tidak melakukan kajian mendalam sebelum merumuskan aturan. Dampaknya, kebijakan yang dihasilkan hanya menciptakan fatamorgana, seolah-olah bisa memberi dampak mensejahterakan mitra pengemudi, namun faktanya justru merugikan mitra dan masyarakat.
Pemerintah Harus Pastikan Tersedianya Transportasi yang Aman
Rizal menambahkan, seharusnya pemerintah tidak menetapkan kebijakan yang bermain di ranah untung-rugi, namun fokus untuk memastikan tersedianya transportasi umum yang aman dan nyaman bagi masyarakat. Baik dengan melibatkan pihak ketiga maupun tidak. Menurutnya, kehadiran ojol telah banyak membantu pemerintah dalam menjalankan fungsi tersebut.
"Beberapa tahun terakhir ini dengan adanya ojol masyarakat mendapat alternatif transportasi yang nyaman, mudah diakses, dan dengan segala kelebihan lainnya. Sementara itu, di sisi lain pemerintah gagal menyiapkan transportasi yang memberikan kenyamanan. Contohnya, Teman Bus yang pernah diluncurkan Kemenhub dengan anggaran miliaran justru tidak efektif karena waktu tunggu lama, menambah kemacetan, serta jalurnya yang sulit," ujar pria yang juga dikenal sebagai Pengamat Literasi Kota Makassar itu.
Kenaikan tarif ojol akan membuat masyarakat semakin terjepit, pasalnya di satu sisi telah nyaman menggunakan ojol namun dipaksa harus mengeluarkan ongkos lebih tinggi. Sementara untuk pindah menggunakan moda transportasi umum lain, pemerintah tidak menyediakan alternatif yang bagus.
Di tengah kondisi pemulihan ekonomi saat ini, lanjut Rizal, harusnya pemerintah tidak bicara tarif terlebih dahulu, namun melakukan kajian bagaimana mengoptimalkan penerapan aturan di lapangan, memberikan perlindungan kepada mitra pengemudi, serta memenuhi hak-hak konsumen. Termasuk menggali potensi penerimaan asli daerah (PAD) yang nantinya dikonversikan dalam bentuk kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan mitra pengemudi dan memastikan keamanan masyarakat.
"Jadi saya rasa kebijakan kenaikan tarif ini belum tepat, karena di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil pasca pandemi justru menimbulkan protes dari banyak pihak," tandas Rizal.
Selain itu, pemerintah juga harus memastikan adanya asosiasi yang mewadahi pengemudi online sebagai mitra yang dapat memberikan masukan dalam menentukan kebijakan. Pemerintah perlu membangun sistem yang mendukung perkembangan industri ride hailing karena terbukti memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi.
- Bio Farma Telah Distribusikan 439 Juta Dosis Vaksin Covid 19
- YouTube Hadirkan Fitur Baru untuk Chat dan Sematkan Stickers
- 53 Tahun Agung Podomoro, Terus Berinovasi Bangkitkan Industri Properti Tanah Air
"Pemerintah tidak hanya menekan dengan aturan, tapi juga membangun sistemnya, misalnya yang paling sederhana, jumlah mitra pengemudi online di Sulawesi Selatan saja mungkin pemerintah belum punya. Harusnya itu dulu yang diselesaikan," harapnya.
Rizal juga berharap pemerintah memperhatikan representasi dalam menetapkan kebijakan. Misalnya untuk merumuskan kebijakan berkaitan dengan pengemudi ojol, harus mengambil pendapat organisasi yang mewakili ojol secara umum. Jangan hanya mendengar opini segelintir orang atau suara dari beberapa kota saja sudah dianggap mewakili aspirasi secara keselurahan.
"Juga harus ada representasi dari masyarakat, jangan opini dari LSM atau kelompok tertentu saja yang dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Mengundang stakeholder dalam mendiskusikan kebijakan itu sangat penting diperhatikan. Selama ini pemerintah abai soal ini," pungkasnya.
Pengaturan Ojol Perlu Undang-Undang
Terakhir, yang tidak kalah penting, Rizal mendorong pemerintah segera menyusun undang-undang yang mengatur layanan transportasi berbasis aplikasi sebagai upaya memberikan kepastian hukum dalam memberikan layanan publik.
"Pengaturan transportasi online ini butuh undang undang. Kalau keputusan menteri itu bisa diubah-ubah, sehingga kita tidak punya kepastian hukum dalam memberikan layanan publik. Itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik," tandas Rizal. (EP)