Program Tax Amnesty JIlid II Berpotensi Dorong Permintaan Hunian Mewah
Chairil Anwar - Kamis, 24 Maret 2022 21:51JAKARTA — Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pajak yang telah berlaku sejak awal 2022 diyakini akan ikut mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Masuknya dana-dana besar dari wajib pajak tersebut, selain akan menambah pendapatan negara, juga bakal ikut menggerakkan sektor industri, salah satunya industri properti yang sudah mulai bangkit sejak pertengahan tahun lalu.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo dalam Exclusive Talkshow Bukit Podomoro Jakarta, Sabtu, 19 Maret 2022, di Jakarta, menjelaskan ada dua kelompok wajib pajak yang menjadi sasaran dalam PPS atau yang jamak disebut Tax Amnesty Jilid II.
Pertama, wajib pajak peserta Tax Amnesty jilid I pada 2016 yang belum sepenuhnya mengungkapkan hartanya. Kedua, wajib pajak pribadi yang belum melaporkan hartanya sejak 2016—2020.
“Kebijakan ini menjadi kesempatan bagi para wajib pajak untuk mengungkapkan hartanya secara sukarela. Dengan ikut PPS, targetnya adalah meningkatnya kepatuhan pajak dan wajib pajak akan mendapatkan keringanan serta terhindar dari denda administratif yang besar,” ungkap Yustinus.
- Korban Minta DPR Awasi Kinerja Polri dalam Kasus Binomo dan Quotex
- PLN Ajak Warganet Beli Produk UMKM Binaan Rumah BUMN lewat Aplikasi PaDi UMKM
- Cukup Pakai KTP, Kini UMKM Bisa Ajukan Pinjaman di Bank Wakaf Mikro
Secara normal, tanpa mengikuti PPS, kelompok pertama wajib pajak yang diketahui belum mengungkapkan hartanya akan dikenakan tarif PPh final sebesar 25% (badan), 30% (pribadi), dan 12,5% (WP tertentu) dari harta bersih yang ditemukan ditambah sanksi 200%. Sementara bagi kelompok kedua dikenakan sanksi 30% dari harta bersih dan denda berupa bunga sesuai ketentuan umum perpajakan.
Dengan mengikuti PPS, kata Yustinus, kedua kelompok wajib pajak itu bisa mendapatkan keringanan tarif dan terhindar dari denda. Bagi kelompok pertama peserta PPS, mereka akan menikmati tarif PPh final sebesar 11% untuk harta di luar negeri tanpa repatriasi. Angkanya PPh menjadi 8% untuk harta di luar negeri dengan repatriasi dan harta dalam negeri. Sementara bagi kelompok kedua, tarif PPh finalnya menjadi 18% harta di luar negeri non repatriasi serta 14% untuk harta di dalam negeri dan harta di luar negeri yang direpatriasi.
Melalui kebijakan PPS ini, Yustinus melihat ada peluang bagi sektor-sektor dengan potensi pertumbuhan tinggi dapat menerima limpahan dari hasil repatrisasi wajib pajak. Bagi mereka yang akan mengalihkan asetnya di luar negeri menjadi aset properti di dalam negeri maka akan menikmati keringanan pajak. Di sisi lain dengan tren pertumbuhan ekonomi dan kenaikan harga yang konstan, investasi di sektor properti akan semakin menguntungkan.
Oleh karena itu, Yustinus menilai kebijakan PPS sejatinya juga dapat mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, termasuk terhadap industri properti. Sebab, para wajib pajak yang merepatriasi harta di luar negeri saja akan menerima keriganan tarif PPh yang signifikan sekaligus bisa terhindar dari denda administratif.
“Sekarang waktu yang tepat karena sebenarnya dana-dana yang di masa lalu belum diungkap, sekarang menjadi lebih formal, masuk ke sistem keuangan, dan tidak ada isu bagi wajib pajak karena telah di-declare dan transparan,” imbuhnya.
Artinya, ketika ingin diinvestasikan ke sektor apa pun, khususnya properti menjadi lebih leluasa. “Nah, sekarang tinggal kita lihat, kalau dari tren memang Return of Investment (ROI) di sektor ini termasuk bagus. Harga tanah selalu naik, apalagi prospek bisnis akan pulih dan bangkit setelah pandemi, ini akan menjanjikan. Oleh sebab itu, ini waktu yang tepat kalau mau investasi (di sektor properti) karena harganya relatif turun, karena mungkin harga lebih murah sedangkan kondisi ekonomi mulai mengalami recovery”, ungkap Yustinus.
Sampai 14 Maret 2022, Kementerian Keuangan mencatat sudah ada 22.448 wajib pajak yang mengikuti PPS. Dari angka tersebut diperoleh PPh senilai Rp3,05 triliun yang berasal dari Rp29,56 harta yang diungkapkan. Perinciannya Rp25,98 triliun merupakan harta di dalam negeri dan hasil repatriasi harta di luar negeri, Rp1,73 triliun merupakan deklarasi harta luar negeri, dan Rp1,84 triliun merupakan harta yang sudah diinvestasikan ke SBN dan 332 sektor usaha yang ditentukan.
Dalam kesempatan serupa, Chief Marketing Officer Bukit Podomoro Jakarta Zaldy Wihardja juga turut mendukung kebijakan PPS yang akan berlaku sampai Juni mendatang. Kebijakan PPS dinilai akan mendorong pertumbuhan industri, termasuk properti. Mendorong pengalihan harta wajib pajak di luar negeri menjadi investasi di dalam negeri merupakan kebijakan yang sangat menarik.
“Pembelian properti bisa jadi salah satu opsi investasi yang sangat menguntungkan bagi wajib pajak peserta PPS. Bukit Podomoro Jakarta merupakan kawasan premium yang dapat menjadi pilihan investasi masa depan. Selain lokasi strategis di wilayah Jakarta, kawasan ini akan menjadi landmark yang sangat kuat dan magnet ekonomi baru yang mengakomodasi semua kebutuhan penghuninya,” ungkapnya.
Secara khusus Zaldy menjelaskan peluang investasi properti, khususnya di segmen menengah atas alias hunian mewah yang masih sangat besar. Menurutnya, di tengah fase pemulihan ekonomi yang semakin positif saat ini, properti mewah menjadi salah satu aset yang mengalami kenaikan harga yang cepat. Hal ini dipengaruhi tingkat daya beli masyarakat menengah atas yang juga cepat pulih dibandingkan segmen lainnya.
“Pertumbuhan segmen hunian mewah juga ditopang adanya bunga KPR yang rendah sepanjang sejarah. Ketersediaan pasokan hunian mewah, daya beli masyarakat kelas menengah atas yang masih kuat ditambah stimulus dari pemerintah akhirnya membuat pasar hunian mewah menjadi lebih cepat pulih dari pandemi,” sambung Zaldy. (CA)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Liza Zahara pada 24 Mar 2022 ini