Penulis:M. Iqbal Pratama
Editor:Redaksi
BANDARLAMPUNG - Anggota Komisi II DPR RI Dapil Lampung Endro S. Yaman menyambangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandarlampung, Senin (15/5/2023).
Kedatangannya guna mempertanyakan soal sertifikat tanah milih warga yang telah diaktifkan melalui program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL), namun selama bertahun-tahun tak kunjung diterbitkan oleh BPN kota setempat.
Endro S. Yaman menyampaikan banyak laporan dari masyarakat langsung maupun dari Kelompok Masyarakat (Pokmas) terkait lamanya penerbitan sertifikat tanah PTSL.
"Untuk mencocokan atau mengklarifikasi informasi itu, maka kita datang ke BPN Bandarlampung. Kita ingin dengar langsung terutama terkait PTSL atau sengketa lahan," kata dia.
Politisi dari Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengaku, dari hasil pertemuan dengan BPN tadi bahwa pada awal nya ada sekitar 1400 namun saat ini tersisa sekitar 600 san PTSL lagi yang belum diterbitkan sertifikatnya.
Sementara kata dia, yang lainnya mungkin itu kan salah komunikasi, dimana pokmas itu tidak memperoleh data yang benar dari kepesertaan masyarakat yang sudah diberikan sertifikat tanah tersebut.
"Karena sertifikat itu setelah diterbitkan tidak ke pokmas, tapi harus ke orang yang bersangkutan tidak boleh diwakilkan. Nah ini kan dari pokmas ini yang tidak nyambung atau miskomunikasi," ucap dia.
Namun demikian jelasnya, sertifikat yang belum diterbitkan ini nanti pihaknya akan meminta di Kementrian ATR/BPN untuk di anggarkan di 2024.
"Nanti kita mintakan dari Kementerian untuk menyelesaikan PTSL yang belum selesai yaitu ada 600 ini," ucap dia.
Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandarl Lampung Djujuk Trihandayani menjelaskan, tersisa 600 san PTSL karena mereka tidak masuk nominatif.
Tidak masuk nominatif itu jelasnya, berarti sudah melampaui target dan itu tidak bisa diselesaikan karena anggarannya sudah tidak ada.
"Misalkan satu kelurahan targetnya 50 PTSL, tqapi mereka memasukkan 100, maka yang 50 ini tidak terbiayai. Lalu ada juga dari 600 itu yang tanahnya masuk wilayah Lampung Selatan, serta ada yang tumpang tindih. Jadi permasalahannya masing-masing bidang tanah itu berbeda-beda," ungkap Djujuk Trihandayani.
Oleh karena itu pihaknya perlu waktu untuk menyelesaikan persoalan ini, karena tidak bisa langsung satu masalah diselesaikan untuk masalah yang lain itu enggak bisa.
"Kalau yang masalah tidak masuk nominatif, ada sekitar 100 san lebih. Sementara kalau tanah yang tumpang tindih ini tidak bisa diterbitkan sertifikatnya di Bandar Lampung," tandasnya. (IQB)