Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA - Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan sejak 6 bulan yang lalu, ESDM membentuk kelompok kerja (Pokja) untuk mengantisipasi larangan ekspor logam timah.
Adapun pokja ini terdiri dari Kementerian Lembaga (K/L) pemerintahan, asosiasi profesi, termasuk Kadin, dan pihak lainnya untuk diajak berdiskusi.
Pokja sejauh ini telah menganalisis mengenai aspek teknis dan ekonomi dari sejumlah produk hilir timah.
“Terkait persiapan larangan ekspor yang paling serius yang kami siapkan jadi pada gilirannya nanti akan dilaporkan rekomendasi dari Pokja ini,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII, dilansir Jumat, 3 Februari 2023.
Ridwan menjelaskan lebih lanjut terkait, peningkatan nilai tambah jika logam diolah menjadi produk hilir yang menaikkan nilai tambah.
Ia mencontohkan jika timah diproduksi menjadi Tin Soldier nilai tambah bisa naik 1,1 kali lipat dibandingkan logam timah. Kemudian jika menjadi Tin Chemical nilai tambah akan naik 1,75 kali lipat dan jika menjadi Tinplate akan meningkat 1,5 kali lipat.
Ridwan mengungkapkan kedepannya jika logam timah diproduksi menjadi timah soldier, capex yang dibutuhkan untuk membangun pabrik diperlukan modal Rp20 miliar. Sedangkan untuk membangun pabrik Tin Chemical dibutuhkan investasi Rp300 miliar dan untuk Tinplate dibutuhkan dana Rp2,3 triliun.
Adapun rata-rata waktu yang diperlukan untuk membangun pabrik tersebut kurang lebih dua tahun.
Maka itu, Ridwan mengatakan jika Indonesia perlu waktu setidaknya dua tahun menunggu pembangunan pabrik hilir timah sebelum melarang ekspor.(*)