Rupiah
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Yunike Purnama
JAKARTA - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Rabu, 12 Oktober 2022. Isu resesi yang semakin menguat membuat dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi primadona, rupiah pun kian mendekati Rp15.400/US$
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan, tetapi tidak lama langsung melemah 0,1% ke Rp 15.370/US$ pada pukul 9:02 WIB.
Risiko resesi semakin buruk melihat perang Rusia - Ukraina yang tak kunjung usai, justru kini semakin intensif. Perang kedua negara tersebut menjadi salah satu pemicu meroketnya harga minyak mentah, gas alam hingga batu bara. Alhasil, inflasi energi menjadi gila-gilaan, dan kini sudah menyebar ke berbagai sektor perekonomian.
Presiden Bank Dunia David Malpass dan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva pada Senin lalu memperingatkan risiko resesi global yang terus meningkat, dan inflasi masih akan terus menjadi masalah.
Saat resesi terjadi, maka permintaan minyak mentah tentunya akan menurun.
Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2023 dari menjadi 2,7% dari sebelumnya 2,9%.
Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini tidak berubah, yakni pada 3,2%.IMF memastikan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2023 adalah profil pertumbuhan terlemah sejak 2001, kecuali masa pandemi Covid-19 dan krisis keuangan global.
Adapun, pelemahan ini dipicu oleh inflasi tinggi yang lebih tinggi dalam beberapa dekade terakhir, serta ketatnya kondisi keuangan di sejumlah wilayah, perang Rusia di Ukraina dan pandemi Covid yang masih berlangsung.
Ekonom Nouriel Roubini, atau yang dikenal dengan Dr. Doom, ketika sukses memprediksi krisis finansial 2008, kini memproyeksikan resesi akan menghantam Amerika Serikat di akhir 2022 sebelum menyebar secara global tahun depan.
"Ini tidak akan menjadi resesi yang singkat dan danggkal, ini akan menjadi resesi yang parah, panjang dan buruk," kata Roubini, sebagaimana dilansir Fortune.
Ia melihat kondisi ekonomi saat ini mirip dengan 2007/2008, dilihat dari tingginya utang negara dan korporasi. Hal ini bisa memicu krisis yang parah.(*)