gojek
Penulis:Eva Pardiana
Editor:Eva Pardiana
JAKARTA – Pengamat Ekonomi dari Universitas Mulawarman Kalimantan Timur, Purwadi Purwoharsojo menilai dibebankannya biaya komisi sebesar dari ongkos yang diterapkan kepada pengguna jasa transportasi online seperti Gojek dan Grab bisa berdampak positif jika konsumen tidak keberatan dan aplikator mampu mengkonversi biaya tersebut dalam bentuk layanan yang unggul.
"Aplikator dapat membuktikan bahwa biaya komisi yang dibebankan kepada konsumen mampu meningkatkan kualitas layanan, seperti teknologi aplikasi yang lebih canggih, lebih mudah digunakan, lebih cepat dalam penanganan komplain, misal saat terjadi pelecehan atau barang hilang," ujar akademisi Universitas Mulawarman itu, Senin, 10 Oktober 2022.
Jika layanan optimal itu dapat diwujudkan, lanjutnya, akan berdampak positif bagi aplikator dan pengemudi karena hal itu menjadi bagian dari citra positif perusahaan yang menjamin customer service lebih unggul dari aplikator lainnya.
Purwadi sepakat jika biaya komisi penting bagi perusahaan aplikator untuk mencapai profit dan memastikan keberlangsungan usahanya. Bagaimana pun kehadiran industri ride hailing saat ini merupakan solusi bagi masyarakat dengan mobilitas tinggi dan membantu meningkatkan perekonomian para mitranya.
Di tengah kompetisi antaraplikator yang semakin ketat, adanya biaya komisi tersebut dapat membuat perusahaan mampu bersaing dalam memberikan layanan lebih baik sehingga persaingan bisa lebih sehat.
Namun, menurut Purwadi, yang harus dipertimbangkan dengan matang oleh aplikator saat menentukan presentase biaya komisi adalah kesanggupan konsumen akhir. Sebab, jika konsumen merasa berat, maka dalam jangka waktu panjang bisa berdampak pada penurunan omzet.
"Aplikator harus lihat bagaimana respon pengguna jasa, jika selama ini tidak ada komplain dari konsumen akhir, artinya biaya komisi tersebut masih aman. Namun jika menurunkan permintaan, tentu harus dievaluasi," ungkapnya.
Terkait penetapan tarif transportasi online oleh pemerintah, Purwadi menilai intervensi pemerintah penting ketika adanya monopoli oleh aplikator tertentu. Jika terjadi monopoli pemerintah perlu turun langsung mengatur tarif agar monopoli ini bisa dicegah sesuai UU Anti Monopoli dimana jika 60–70 persen menguasai pasar perlu dipertimbangkan adanya intervensi.
"Namun, jika belum ada indikasi monopoli dan masih dalam persaingan sehat, saya rasa pemerintah belum perlu mengintervensi, serahkan saja pilihan itu ke konsumen, mereka mau menggunakan transportasi yang mana berdasarkan tarif dan layanannya," ujarnya.
Yang terjadi selama ini, pengemudi yang meminta kenaikan tarif sebagai dampak kenaikan BBM. Besar kenaikan tarif pun harus dikaji. "Kajian harus clear. Tidak boleh menetapkan harga tanpa dasar. Ketika kenaikan tarif dianggap terlalu tinggi, pemerintah bersama aplikator harus mengevaluasi. Salah satu komponen yang harus dipertimbangkan saat menentukan tarif transportasi kan tingkat pendapatan masyarakat," papar Purwadi.
Menurut Purwadi, seharusnya masing-masing daerah bisa diberi keleluasaan untuk menerapkan harga berbeda sesuai tingkat pendapatan masyarakat, tingkat inflasi, dan biaya hidup. Pasalnya, kelas pengguna ojek online di tiap daerah juga berbeda. "Mungkin di Jakarta sebagian besar penggunanya pekerja kantoran, tapi di daerah lain mungkin banyak dari kalangan ibu rumah tangga," imbuhnya.
Purwadi juga berpesan kepada aplikator, untuk mengantisipasi terjadinya penggelembungan data akibat pengemudi yang bermitra dengan lebih dari satu aplikator. "Ini juga harus diperhatikan, selama ini kan pakai KTP saat proses pendaftaran, dalam sistem informasi manajemen, soal data ini juga harus clear," pungkasnya. (*)