pinjol
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat integritas sektor jasa keuangan (SJK) dengan menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal di SJK.
POJK ini mencabut POJK Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan sebagaimana telah diubah dengan POJK Nomor 23/POJK.01/2019.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menegaskan, bahwa aturan ini ini ditujukan untuk memitigasi risiko tindak pidana pencucian uang (TPPU), tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT), dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal (PPSPM) yang berkembang dan menjadi ancaman serius bagi negara.
"POJK ini telah selaras dengan prinsip internasional antara lain Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), peraturan perundang-undangan di Indonesia, serta perkembangan inovasi dan teknologi yang harus diikuti penjagaan aspek keamanan dan kerahasiaan," jelas Mahendra dalam keterangan tertulis dikutip pada Rabu, 21 Juni 2023.
Dia menambahkan, aturan ini juga merupakan bukti komitmen OJK dalam mendukung tujuan Indonesia menjadi anggota penuh FATF. Di mana sektor jasa keuangan memiliki ukuran dan materialitas yang signifikan.
Terdapat 12 poin di dalam POJK APU PPT dan PPPSPM di sektor jasa keuangan tersebut. Pertama, penambahan aturan bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang wajib menerapkan program APU PPT dan PPPSPM.
Kedua, beberapa pengaturan PPPSPM. Ketiga, kewajiban PJK memastikan profesi penunjang yang digunakan jasanya telah menerapkan program APU, PPT, dan PPPSPM, serta terdaftar pada sistem informasi pelaporan yang dikelola PPATK (GoAML).
Keempat, kewajiban penyusunan dan penyampaian Individual Risk Assessment (IRA) oleh penyedia jasa keuangan. Kelima, menambahkan contoh tindakan countermeasures oleh penyedia jasa keuangan terhadap negara berisiko tinggi yang dipublikasikan oleh FATF untuk dilakukan countermeasure.
Keenam, penegasan kewajiban Customer Due Diligence (CDD). Ketujuh, penyempurnaan persyaratan dan tata cara kerja sama PJK dengan pihak ketiga dalam rangka verifikasi secara tatap muka (face to face) dan tidak tatap muka (non-face to face) melalui sarana elektronik.
Kedelapan, penyempurnaan ketentuan fungsi manajemen kepatuhan dan pelaksanaan audit internal secara independen serta prosedur pre-employee screening. Kesembilan, penyempurnaan pengaturan sanksi administratif yang lebih efektif, proporsional dan disuasif.
"Antara lain peningkatan batas atas sanksi denda bagi PJK terhadap pelanggaran APU PPT dan PPPSPM selain pelaporan; dan pengaturan untuk pelanggaran pelaporan," terangnya.
Selanjutnya, pada poin kesepuluh, adanya harmonisasi dengan UU Cipta Kerja yang mengatur entitas baru yaitu perusahaan perseorangan.
Kesebelas, pengaturan mengenai penundaan atau penghentian sementara transaksi yang diketahui atau diduga terkait dengan TPPU, TPPT, dan PPSPM.
Terakhir, adanya kewajiban penyampaian data untuk kebutuhan pengawasan melalui sistem pelaporan OJK.
"Selanjutnya, OJK memberikan waktu transisi bagi penyedia jasa keuangan paling lama 6 bulan sejak diterbitkannya POJK dimaksud untuk segera melakukan penyesuaian," pungkas Mahendra.(*)