Kurs Rupiah Melemah Usai Libur Panjang Lebaran

2022-05-09T10:41:21.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Yunike Purnama

Rupiah-Perkasa-se-Asia-5.jpg

BANDARLAMPUNG - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada awal perdagangan usai libur Lebaran atau Senin pagi terpantau melemah ketimbang perdagangan sebelumnya yang berada di level Rp14.480 per USD.

Sejumlah risiko masih menghantui mata uang Garuda seperti perang Rusia dan Ukraina, hingga pengetatan kebijakan yang dilakukan oleh The Fed.

Mengutip Bloomberg, Senin, 9 Mei 2022, nilai tukar rupiah pada perdagangan pagi dibuka tertekan ke posisi Rp14.505 per USD. Pagi ini nilai tukar rupiah bergerak di kisaran Rp14.501 hingga Rp14.530 per USD. Sedangkan menurut Yahoo Finance, nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.480 per USD.

Sementara itu, dolar memulai pekan ini pada Senin pagi dengan pijakan yang kuat. Hal itu ditopang oleh imbal hasil AS yang meningkat tajam dan kecenderungan investor ke arah yang aman karena penguncian di Tiongkok, perang di Ukraina, dan kecemasan tentang tingginya suku bunga di AS.

Greenback mencapai level tertinggi 22-bulan terhadap dolar Selandia Baru yang sensitif terhadap pertumbuhan di awal perdagangan dan naik lebih dari 0,5 persen terhadap dolar Australia ke puncak tiga bulan karena pasar saham berjangka AS turun 1,0 persen.

Imbal hasil acuan obligasi Pemerintah AS 10-tahun berdiri di level tertinggi sejak 2018 di 3,146 persen dan pada 130,73 yen per dolar melemah dari puncak baru dua dekade.

Mendekati level tertinggi

Dolar mendekati level tertinggi lima tahun pada euro, yang turun 0,2 persen menjadi 1,0529 dolar. Poundsterling melayang tepat di bawah posisi terendah dua tahun yang dibuat pekan lalu setelah bank sentral Inggris (BoE) memperingatkan bahwa ekonomi Inggris menghadapi resesi.

"Dolar akan didukung oleh kinerja ekonomi AS yang lebih baik dan harga ekuitas yang lebih lemah. Meskipun terjadi kenaikan suku bunga yang material, kondisi keuangan tidak terlalu ketat di negara-negara ekonomi utama," kata Ahli Strategi Commonwealth Bank of Australia Joe Capurso, dilansir dari Reuters.

"Kebutuhan memperketat kondisi keuangan dan mengendalikan inflasi mendasari kasus untuk kenaikan (suku bunga) lebih lanjut yang signifikan," pungkasnya.(*)