Insiden Kaligedang Rugikan Ribuan Buruh dan Cemari Citra Bondowoso sebagai Republik Kopi

2025-11-27T13:31:37.000Z

Penulis:Eva Pardiana

Editor:Eva Pardiana

1002322677.jpg
Perusakan 150 ribu batang tanaman kopi milik PTPN I Regional 5 di Desa Kaligedang, Kecamatan Sempol, Bondowoso, Jawa Timur, berdampak serius terhadap kesejahteraan lebih dari 3.500 buruh.

BONDOWOSO – Perusakan 150 ribu batang tanaman kopi milik PTPN I Regional 5 di Desa Kaligedang, Kecamatan Sempol, Bondowoso, Jawa Timur, berdampak serius terhadap kesejahteraan lebih dari 3.500 buruh. Tindak kriminal yang dilakukan oknum warga dan sempat memicu aksi massa di Polsek Sempol pada 17 November 2025 itu juga mencoreng citra Kabupaten Bondowoso yang dikenal dengan tagline “Bondowoso Republik Kopi (BRK)”. Lebih jauh, kondisi ini diperkirakan akan menurunkan minat wisatawan di jalur pariwisata menuju Kawah Ijen.

“Insiden 17 November yang dipicu tindak pidana perusakan tanaman kopi milik PTPN I Regional 5 itu jangan dianggap remeh. Dampak negatifnya sangat luas, bukan hanya kerugian perusahaan yang katanya lebih dari Rp4,5 miliar. Ingat, ada ribuan buruh yang pendapatannya macet, citra Bondowoso Republik Kopi tercoreng, dan jalur pariwisata Ijen di kawasan itu pasti terganggu,” kata Iffan Gallant El Muhammady, pengamat sosial dari Universitas Muhammadiyah Jember, Kamis (27/11/2025).

Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UMJ itu menambahkan, dari tiga dampak tersebut, yang paling krusial adalah terhentinya pendapatan para buruh yang jumlahnya mencapai 3.500 orang. Penilaiannya didasarkan pada analisis potensi instabilitas wilayah, mengingat upah atau gaji sebagai elemen utama pemenuhan kebutuhan dasar memiliki ambang toleransi paling tipis.

“Jika dikaji lebih dalam, sebenarnya dampaknya jauh lebih luas. Namun yang paling mendesak dan harus segera ditangani oleh semua pihak adalah nasib para buruh. Ini masalah perut. Potensinya bisa melebar ke mana-mana. Kerugian lain seperti citra daerah, kepercayaan investor, hingga enggannya wisatawan ke Paltuding (Kawah Ijen) lewat jalur Bondowoso merupakan intangible asset yang membutuhkan waktu lama untuk diperbaiki,” ujar alumnus Program Doktor Ilmu Sosial Peminatan Kebijakan Publik Universitas Airlangga itu.

Iffan menilai insiden ini telah bergeser dari persoalan perusakan 80 hektare lahan menjadi krisis sosial yang berdampak luas. Ia menegaskan bahwa langkah mendesak saat ini adalah menahan eskalasi dan menghindari narasi saling menyalahkan.

“Melabeli warga sebagai ‘perusuh’ hanya memperlebar jurang sosial dan menutupi persoalan struktural. Pemerintah dan aparat harus benar-benar berada di tengah. Negara tidak boleh terlihat berpihak, karena yang dipertaruhkan adalah penghidupan ribuan buruh dan stabilitas kawasan,” katanya.

Ia juga melihat potensi konflik horizontal jika situasi tidak dikelola secara hati-hati, terutama antara buruh yang kehilangan pendapatan dan warga Kaligedang yang percaya bahwa kebun hortikultura yang mereka garap akan “ditertibkan”.

“Ini berbahaya karena bisa menggeser persoalan dari kegagalan tata kelola menjadi benturan antarwarga. Kisruh ini juga kini dirasakan publik secara simbolik, di mana reputasi Kopi Bondowoso yang dulu menjadi ikon kebanggaan justru diasosiasikan sebagai pemicu konflik. Kerusakan kepercayaan yang terbangun melalui narasi positif BRK tidak mungkin berdiri jika realitas hulunya penuh ketidakstabilan,” ujarnya.

Dampak pada sektor wisata pun tidak bisa diabaikan. Konflik ini memperkuat persepsi bahwa jalur Bondowoso menuju Kawah Ijen kurang aman dan kurang kondusif. Kondisi tersebut memperberat upaya pemerintah dalam mengampanyekan jalur Bondowoso ke Paltuding sebagai alternatif wisata yang menarik.

“Konflik sosial di sekitar wilayah produksi kopi menciptakan rasa tidak nyaman bagi warga lokal. Rasa bangga sebagai duta wisata ikut menurun. Jika tidak ditangani cepat, kisruh ini akan melekat di memori kolektif sebagai simbol ketidakstabilan,” jelasnya.

Bagi investor, insiden ini menjadi ujian besar. Iffan mengatakan bahwa pemodal selalu mempertimbangkan tiga faktor utama: stabilitas sosial, kepastian tata kelola, dan mekanisme penyelesaian konflik.

“Kerugian Rp4,7 miliar yang dialami PTPN I Regional 5 dan terhentinya pendapatan 3.500 orang adalah sinyal bahwa ada masalah serius dalam relasi perusahaan, warga, dan komunikasi publik. Jika pemerintah hanya merespons secara jangka pendek, investor akan membaca konflik ini sebagai pola yang berpotensi berulang,” tegasnya.

Iffan menilai situasi ini dapat berbalik positif jika pemerintah daerah dan PTPN memanfaatkan momentum untuk melakukan pembenahan sistemik. Transparansi, audit tata kelola, dan forum dialog dinilai sebagai instrumen penting untuk memulihkan kepercayaan.

“Branding tidak boleh berhenti pada slogan. Kepercayaan publik hanya dapat kembali jika perubahan benar-benar dirasakan di lapangan,” pungkas Iffan Gallant. (*)