Beban Keuangan Menggunung, Generasi Muda Masih Dapat Investasi?

2022-10-17T13:11:52.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Yunike Purnama

Perilaku generasi muda saat ini menarik untuk dicermati.
Perilaku generasi muda saat ini menarik untuk dicermati.

BANDAR LAMPUNG - Perilaku generasi muda saat ini menarik untuk dicermati. Banyak dari mereka yang mengamini gaya hidup You Only Live Once (YOLO), yang ada kecenderungan untuk mengeksplorasi banyak hal, berapapun ongkosnya.

Sehingga generasi muda memiliki kesadaran untuk mencetak lebih banyak uang guna akomodasi keinginan eksplorasi tersebut.

Belum lagi lingkungan sosial yang semakin mendesak dan terasa serba buru-buru, tak jarang membuat orang berpikir instan, termasuk untuk spending. Tak hanya itu, generasi muda saat ini juga diharapkan dengan fenomena sandwich yang memaksa mereka untuk bisa menghimpun lebih banyak uang.

Certified Financial Planner, Annisa Steviani mengakui, kondisi-kondisi tersebut bisa berdampak pada kesehatan mental seseorang. Dia mencermati, ada kecenderungan orang menjadi konsumtif saat berusaha mengalihkan diri dari hal yang membuatnya tak nyaman. Misalnya, berbelanja atau makan enak saat sedih atau stres. Fenomena ini disebut Annisa sebagai distraksi emosi.

"Mungkin selama ini kita enggak berusaha menerima emosi yang kita rasakan, sehingga sering kita alihkan dengan berbelanja. Seolah kalau sudah belanja, akan bahagia kemudian. Atau kalau sedih makan enak, nanti sedihnya hilang,” kata Annisa dalam Seminar CMSE, Sabtu, 15 Oktober 2022.

Alih-alih self reward atau healing, Annisa melihat kegiatan konsumtif untuk mengalihkan rasa tidak nyaman hanya sebagai pemborosan. Artinya, ketika seseorang sudah bisa menerima emosinya, pengeluaran itu mestinya bisa ditekan. “Jadi pakai uang sesuai kebutuhan, bukan untuk mengisi kekosongan. Belajar kelola emosi,” kata dia.

Selain dari diri sendiri, gangguan finansial bisa berasal dari orang-orang di lingkungan terdekat. Misalnya tetangga atau kerabat yang suka pinjam uang. Termasuk relasi dengan orangtua yang menganggap anak adalah aset untuk menunjang kehidupan mereka di masa mendatang.

“Tidak semuanya, tapi banyak orangtua yang merasa bahwa saat anaknya kerja otomatis kaya, bisa menghidupi mereka dan kalian minta apa aja harus dikasih. Tapi orang tua sekarang banyak yang mintanya bukan hanya sekadar biaya hidup, tapi lebih ke gaya hidup,” ujar Annisa.

Kondisi ini juga tak jarang mempengaruhi rasionalitas seseorang dalam mengambil keputusan. Takut dinilai durhaka, anak bisa saja menghalalkan segala cara untuk memenuhi ekspektasi orang tua. Sementara dirinya sendiri terengah-engah dan mungkin juga butuh sokongan. (*)