Sikapi soal RPP UU Kesehatan, Serikat Pekerja Tembakau Sebut Kemenkes Arogan

Redaksi - Selasa, 26 September 2023 05:12
Sikapi soal RPP UU Kesehatan, Serikat Pekerja Tembakau Sebut Kemenkes AroganIlustrasi tembakau (Freepik) (sumber: Freepik)

JAKARTA - Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menyampaikan keprihatinan atas isi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan turunan Undang-Undang (UU) Kesehatan yang dibuat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), khususnya pada pasal zat adiktif berupa produk tembakau yang berisi sejumlah larangan total yang dapat mematikan ekosistem industri hasil tembakau.

Ketua Umum Pimpinan Pusat RTMM-SPSI, Sudarto AS, mengatakan rokok adalah produk legal yang diakui oleh negara. Salah satu penandanya adalah melalui pengenaan cukai. “Tenaga kerjanya juga legal dan merupakan mata pencaharian halal. Oleh karena itu, kami sangat kecewa dengan isi usulan RPP Kesehatan yang beredar saat ini karena penuh dengan larangan total, bukan lagi bersifat pengaturan,” terangnya kepada wartawan.

Terlebih, kata Sudarto, ini bukan pertama kali Kemenkes mendorong upaya larangan total yang mengancam keberlangsungan industri hasil tembakau. Ia mengamati upaya tersebut selalu dilakukan, termasuk saat menyusun UU Kesehatan di mana tembakau sempat disetarakan dengan narkotika dan psikotropika.

“Kemenkes tidak memikirikan solusi bagi sektor IHT (industri hasil tembakau) yang mampu menyerap lebih dari 6 juta jiwa, di mana lebih dari 150 ribu-nya adalah anggota kami, yaitu serikat pekerja RTMM-SPSI, yang tersebar di seluruh Indonesia,” tegasnya.

Sudarto menambahkan sebagai salah satu pemangku kepentingan industri hasil tembakau, pihaknya tidak dilibatkan oleh Kemenkes dalam membahas rencana regulasi. Oleh karena itu, pihaknya terkaget-kaget ketika mengetahui isi RPP UU Kesehatan pada bagian zat adiktif yang isinya berupa larangan total terhadap produk rokok dalam berbagai lini.

“Kami sangat prihatin dengan fakta bahwa Kemenkes secara diam-diam menyusupkan pasal larangan total bagi produk tembakau dalam RPP Kesehatan. Bayangkan dalam RPP Kesehatan yang berjumlah ribuan pasal, terdapan sisipan pasal-pasal yang mengancam keberlangsungan IHT, disandingkan dengan pasal tentang pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, dan lainnya,” bebernya.

Ia juga menyesalkan pola campur aduk pasal zat adiktif dengan ribuan pasal lainnya dalam PP dimaksud. “Yang terjadi hari ini merupakan bentuk arogansi dan pemaksaan kehendak Kemenkes agar pasal pelarangan tembakau larut dalam pembahasan topik kesehatan lainnya yang sangat luas,” yakinnya.

Oleh karena itu, Sudarto memohon kepada Kemenkes supaya aturan pasal zat adiktif dikeluarkan dari RPP UU Kesehatan. Sebab, industri hasil tembakau melibatkan komoditas dan produk tembakau merupakan satu-satunya komoditas yang dibahas dalam RPP, sehingga tidak tepat berada di peraturan sistem jaminan kesehatan.

Terpisah, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair), Gitadi Tegas, meragukan kualitas RPP UU Kesehatan jika dikejar hanya sebulan sejak UU Kesehatan diundangkan. Kesannya terburu-buru. “Memaksakan waktu sampai September ini menurut saya terlalu utopis ideal di atas kertas, tapi dari perspektif policy implementation diragukan,” ujarnya, kepada wartawan.

Percepatan pembahasan RPP tersebut, bukan hanya berdampak pada minimnya jumlah dan kualitas partisipasi publik, tetapi juga seolah melupakan landasan fundamental dari penyusunan sebuah aturan yang berkaitan dengan masyarakat banyak. Selain itu, ia menilai bahwa pemerintah (dalam hal ini Kemenkes) dalam menyusun PP tembakau juga tidak boleh mengesampingkan realitas yang terjadi, seperti produk tembakau yang merupakan penggerak perekonomian negara.(*)

Editor: Redaksi
Bagikan

RELATED NEWS