Pernyataan Presiden Mengundang Kritik Terkait Netralitas Pemilihan Umum
Eva Pardiana - Kamis, 25 Januari 2024 15:29JAKARTA – Pernyataan Presiden Joko Widodo pada tanggal 24 Januari yang lalu, terkait izin bagi Presiden dan Menteri untuk berpihak dalam pemilihan presiden, asalkan tidak menggunakan fasilitas negara, menuai kontroversi karena dianggap merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi elektoral. Pernyataan tersebut juga berpotensi melanggar prinsip pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia yang seharusnya dilakukan secara adil dan netral.
“Kami sebagai warga negara sipil cemas bahwa pernyataan ini dikeluarkan beliau pada saat kampanye sedang berlangsung. Ini merusak demokrasi. Apakah ini berarti berbagai pelanggaran yang telah marak terjadi di masyarakat bisa dianggap sebagai hal yang wajar, sesuatu yang dapat dimaklumi?” kata Natalia Soebagjo, Ketua Perkumpulan Jaga Pemilu dalam konferensi pers bersama di Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Pernyataan Presiden ini memberikan isyarat bahwa masyarakat seharusnya bersikap maklum terhadap keberpihakan Joko Widodo terhadap kandidat Pemilu 2024, terutama mengingat putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden No.2, mendampingi Prabowo Subianto.
- Respons Cepat, Jasa Raharja Pastikan Seluruh Korban Tertabrak Truk Bermuatan Galon di Simalungun Terjamin Santunan
- Jalan Rusak Tanggung Jawab Siapa?
- PLN UID Lampung Gelar Bakti PDKB, Peringati Bulan K3 Nasional 2024
Natalia menyoroti kekagetan lebih lanjut karena pernyataan tersebut disampaikan di tengah-tengah fasilitas negara, dengan latar belakang pesawat udara Tentara Nasional Indonesia, didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, dan Kepala Staf TNI AD Jenderal Maruli Simanjuntak di bandara Halim Perdanakusuma.
Erry Riyana Hardjapamekas, Ketua Badan Pengawas Perkumpulan Jaga Pemilu, menambahkan bahwa sebagai Kepala Negara, Presiden seharusnya menjaga netralitas di atas segala golongan dan kepentingan. Ia menegaskan bahwa Presiden tidak seharusnya melanggar undang-undang yang melarang pejabat negara menggunakan akses program, anggaran, dan fasilitas negara untuk kepentingan pemilu tertentu.
Titi Anggraini, salah satu inisiator Perkumpulan Jaga Pemilu dan pendiri Perludem, menyoroti bahwa pernyataan Presiden hanya merujuk pada Pasal 281 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017, tanpa mempertimbangkan larangan yang ada dalam Pasal 282 dan Pasal 283 yang melibatkan pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam menjaga netralitas selama kampanye pemilu.
Anggraini menegaskan bahwa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi elektoral yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 dapat merugikan perkembangan demokrasi Indonesia. Kontroversi ini juga mengingatkan pada pentingnya menjaga netralitas pejabat negara, terutama Presiden dan Menteri, dalam seluruh tahapan pemilu. (*)