Bank Dunia Ingatkan Risiko Stagflasi, Resesi, hingga Perlambatan Ekonomi
Yunike Purnama - Kamis, 29 September 2022 17:09AS - Presiden Bank Dunia David Malpass memperingatkan bahwa diperlukan waktu hingga bertahun-tahun bagi produksi energi global untuk melakukan diversifikasi dari Rusia setelah perang di Ukraina.
Masalah ini memperpanjang risiko stagflasi, atau periode pertumbuhan ekonomi yang rendah dan inflasi tinggi.
Dilansir dari Channel News Asia, Kamis, 29 September 2022 Malpass dalam pidatonya di Universitas Stanford mengatakan ada kemungkinan peningkatan resesi di Eropa.
- Rapat Dengan Kemendagri, Pemkot Bandar Lampung Diminta Segera Bayar Gaji PPPK Guru
- Pol PP Akan Tertibkan Oknum yang Gunakan Seragam TKS Dinas Lingkungan Hidup
- Jangan Salah, Sistem Buy Now Pay Later Berbeda dengan Cicilan Kredit
Selain itu, Malpass juga memperingatkan dampak luas dari melambatnya pertumbuhan ekonomi China karena kebijakan nol Covid-19, dan ekonomi AS yang telah berkontraksi pada paruh pertama tahun ini.
Kondisi tersebut bisa menimbulkan konsekuensi serius bagi negara-negara berkembang, kata Malpass, mengutip apa yang disebutnya sebagai tantangan yang "konsekuensial" dan "memburuk".
Malpass membeberkan bahwa laporan Bank Dunia berjudul "Poverty and Shared Prosperity" yang akan segera keluar menunjukkan bahwa kemajuan beberapa dekade dalam mengurangi kemiskinan telah melambat sejak 2015, bahkan sebelum pandemi Covid-19, yang menyebabkan 70 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem.
Laporan itu, yang akan keluar minggu depan, juga menunjukkan penurunan 4 persen dalam pendapatan median global, penurunan pertama sejak Bank Dunia mulai mengukur indikator itu pada tahun 1990.
Menurutnya, untuk mengatasi the perfect storm pada ekonomi saat ini dari kenaikan suku bunga, inflasi yang tinggi, dan pertumbuhan yang melambat memerlukan pendekatan makro dan mikro yang baru, termasuk pengeluaran yang ditargetkan lebih baik.
"Negara berkembang menghadapi prospek jangka pendek yang sangat menantang yang dipicu oleh harga pupuk dan energi yang meningkat tajam, kenaikan suku bunga dan kredit, Depresiasi mata uang dan arus keluar modal," kata Malpass.
"Bahaya yang mendesak bagi negara berkembang adalah bahwa perlambatan tajam dalam pertumbuhan global semakin dalam ke resesi global," katanya, mencatat bahwa banyak negara masih berjuang untuk kembali ke tingkat pendapatan per kapita pra-pandemi.
- Harga Beras di Bandar Lampung Naik
- Merubah Masa Depan Limbah Plastik Menjadi Karya Seni Ecobrick Kabarti
- Bandar Lampung Jadi Pilot Project Program Pendidikan Antikorupsi dari KPK
Malpass mengatakan, belum diketahui dengan jelas apakah akan ada cukup modal global untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara maju - yang telah mengadopsi kebijakan fiskal yang mendukung tingkat utang yang tinggi - dan masih memiliki sisa yang cukup untuk mendanai kebutuhan investasi di negara-negara berkembang.
Presiden Bank Dunia itu pun mendesak negara-negara di dunia agar mencari cara untuk mengurangi inflasi di luar kenaikan suku bunga yang sangat sinkron, termasuk dengan meningkatkan efisiensi fiskal untuk menargetkan pengeluaran lebih banyak kepada masyarakat miskin dan rentan.
Menurut Malpass, penyesuaian tersebut akan meningkatkan alokasi modal global, juga memberi jalan untuk mengurangi inflasi sambil memulai kembali pertumbuhan pendapatan.
Selain itu, saat ini, dana untuk pendidikan, kesiapan kesehatan dan adaptasi terhadap perubahan iklim sangat penting, bersama dengan langkah-langkah untuk mengurangi tingkat utang yang membebani banyak negara berkembang. (*)