Waspada Resesi Ekonomi yang Berpotensi Kembali Melanda

2022-07-14T06:24:04.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Yunike Purnama

Hasil survei menempatkan Indonesia pada peringkat 14 dari 15 negara di Asia yang kemungkinan mengalami resesi dengan kemungkinan sebesar 3 persen.
Hasil survei menempatkan Indonesia pada peringkat 14 dari 15 negara di Asia yang kemungkinan mengalami resesi dengan kemungkinan sebesar 3 persen.

JAKARTA - Pemerintah menyatakan akan tetap mewaspadai potensi resesi ekonomi yang bisa melanda Indonesia meskipun peluangnya kecil. 

Tanggapan itu disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, sebagai respons atas survei terbaru yang dilakukan Bloomberg.

Hasil survei menempatkan Indonesia pada peringkat 14 dari 15 negara di Asia yang kemungkinan mengalami resesi dengan kemungkinan sebesar 3 persen atau terpaut jauh dari Sri Lanka yang menempati posisi pertama dengan potensi resesi 85 persen. 

Setelah Sri Lanka, ada New Zealand dengan persentase 33 persen, Korea Selatan 25 persen, Jepang 25 persen, dan Tiongkok 20 persen.

"Kami tidak akan terlena, kami tetap waspada," ungkap Menkeu pada Rabu, 13 Juli 2022 seperti dikutip dari Antara.

Dikatakan dengan persentase potensi resesi Indonesia yang sangat rendah juga menggambarkan ketahanan pertumbuhan ekonomi domestik yang terlihat pada indikator neraca pembayaran hingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kuat.

"Dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga kita juga relatif baik," katanya.

Untuk itu, dia menekankan kalau seluruh instrumen kebijakan akan digunakan, baik kebijakan fiskal, moneter, dan sektor keuangan.

"Namun, kita tetap waspada karena ini akan berlangsung sampai tahun depan. Risiko global mengenai inflasi dan resesi atau stagflasi sangat nyata dan akan menjadi salah satu topik penting pembahasan di G20 Indonesia," kata Menkeu.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Solikin Juhro, mengingatkan akan risiko stagflasi yang akan mengganggu stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.

Risiko stagflasi, jelasnya, diperkirakan bervariasi antarnegara di dunia, sehingga perlu dicermati lebih lanjut, mengingat kebijakan moneter beberapa negara besar yang lebih agresif justru berpotensi meningkatkan ketidakstabilan ekonomi global.

Sebab itu, dia melihat ada krisis yang berkepanjangan dan menular. Apabila sebuah negara tidak bisa bersungguh-sungguh menanganinya dengan benar, akan ada risiko yang terjadi pada krisis berikutnya.

Setelah beberapa negara menyerah dengan pandemi Covid-19 yang sudah melandai, muncul berbagai konflik baru, seperti geopolitik hingga proteksionisme. Namun, berbagai konflik tersebut tidak bisa diatasi sebuah negara sendirian.

"Kita tidak bisa bekerja sendiri. Kita harus memiliki sinergi kebijakan yang lebih kuat, tidak hanya secara nasional, tetapi juga di tingkat internasional," kata Solikin.

Dengan berbagai tantangan yang pelik itu, Bank Indonesia, katanya, tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan suku bunga acuan. Instrumen lain pun turut dikerahkan sebagai bauran kebijakan. (*)