Financial
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi
BANDARLAMPUNG - Apakah Anda mengenal seseorang yang berpenghasilan tinggi namun sangat konsumtif dan gemar berbelanja. Biaya hidup mereka juga tinggi dan penghasilan mereka rasanya hanya lewat begitu saja. Bisa jadi ia adalah seorang HENRY
Dikutip dari The Balance Money, HENRY berasal dari kata “High Earners Not Rich Yet” atau “berpenghasilan tinggi, belum kaya”. HENRY mengacu pada mereka yang memiliki pendapatan di atas rata-rata namun lebih cenderung membelanjakannya daripada menabung atau berinvestasi.
Istilah HENRY pertama dikenalkan oleh penulis Shawn Tully dalam sebuah artikel untuk majalah Fortune pada tahun 2003. Istilah ini kemudian digunakan oleh Melkorka Licea dalam artikel New York Post.
Dikutip dari Investopedia, ostolah HENRY yang pertama kali diperkenalkan ini merujuk pada segmen keluarga yang berpenghasilan antara US$250 ribu atau setara dengan Rp3,82miliar (rate Rp15.310) hingga US$500 ribu atau setara dengan Rp7,65 miliar. Tetapi mereka tidak memiliki banyak sisa uang setelah pembayaran pajak, sekolah, perumahan, biaya keluarga, belum lagi tabungan untuk masa depan.
Orang-orang HENRY biasanya tidak percaya jika mereka kaya. Sehingga mereka hanya memiliki sedikit tabungan, dan kerap berbelanja dengan kompulsif. Mereka juga sering mendapati diri mereka hidup dari gaji ke gaji meskipun sebenarnya pendapatan mereka dalam kondisi sehat.
HENRY biasanya bekerja keras demi uang mereka, namun mereka langsung membelanjakannya segera setelah uang gaji masuk ke rekening bank mereka. Jika Anda meminta seorang HENRY untuk menilai kehidupan finansial mereka. Mereka mungkin akan mengklasifikasikan diri mereka sebagai kelas menengah.
Istilah HENRY telah beredar sebagai cara untuk mengidentifikasi demografis yang sedang menuju kekayaan tetapi belum sampai di sana. Pemasar melihat banyak potensi dalam fase transisi ini di mana orang kaya di masa depan masih beradaptasi dengan peningkatan pendapatan yang cepat.
Dikutip dari Investopedia, brand-brand mewah seperti pembuat jam tangan Tag Heuer dan Louis Vuitton telah mengembangkan strategi pemasaran baru yang khusus menyasar HENRY. Mereka menggunakan iklan yang berpusat pada nilai inti HENRY yaitu keunikan dan identitas. Mereka juga menggunakan selebriti dan atlet yang populer dan disukai untuk memposisikan brand mereka, mempromosikan daya tariknya, dan mengkomunikasikan pesan tentang status.
Banyak HENRY menghargai barang mewah untuk status dan sering menggunakan media sosial untuk memamerkan konsumsi barang-barang tersebut. Akibatnya, Louis Vuitton, Tag Heuer, dan brand mewah lainnya memasukkan iklan media sosial dan penggunaan influencer media sosial ke dalam strategi pemasaran mereka.(*)