Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
PALESTINA - Menjelang satu bulan, pertempuran Israel-Hamas terus memanas dan tak ada tanda-tanda bakal mereda. Akibatnya, situasi sangat memburuk. Korban terus berjatuhan, tak hanya dari pihak militan tetapi juga rakyat biasa yang tak berdosa.
Pertempuran yang mulai berlangsung sejak awal Oktober ini menambah catatan panjang konflik di wilayah tersebut sejak tahun 1948. Tentu saja yang paling berdampak adalah rakyat sipil Palestina. Hak hidup mereka terus tergerus karena direpresi pemerintah Israel.
Sebenarnya, sejak mereka berdiam diri di sana dan sebelum David ben-Gurion memproklamirkan Israel pada 1948, banyak analisis memprediksi kalau rakyat Palestina bakal sejahtera dan makmur. Pasalnya, mereka tinggal dan berdiam diri di atas tumpukan 'harta karun' fantastis.
Soal 'harta karun', geolog bernama A. Bonne memublikasikan riset "Natural Resources of Palestine" di tahun 1938. Dia menyebut ada 2 sumber daya alam potensial di wilayah Palestina.
Pertama, sumber daya air. Di Timur Tengah, yang terkenal kering kerontang, air adalah sumber kehidupan tak ternilai. Hanya berkat air masyarakat bisa sejahtera dan negara bisa tumbuh.
Dalam kasus di Arab Saudi, misalkan, air sangat memengaruhi jalan sejarah negara. Perlu diketahui, saat awal pendiriannya Saudi tercatat sebagai salah satu negara yang cukup miskin. Kesulitan menemukan air membuat roda ekonomi tak bisa tumbuh, sehingga pembangunan tak bisa terjadi. Akibatnya, kehidupan politik sangat tidak stabil.
Beruntungnya, Palestina tidak merasakan demikian. Ketika negara Timur Tengah lain sibuk mencari air, Palestina justru sudah diberkahi air melimpah. Menurut Bonne, air bisa mudah ditemukan di Palestina.
Saat mengebor tanah, air langsung deras keluar. Sungai-sungai pun jarang kekeringan karena siklus musim panas dan hujan selalu tepat bergantian. Akibatnya, sektor pertanian dan perkebunan Palestina bisa bergeliat. Apalagi seiring waktu Inggris memperkenalkan teknologi yang membuat sektor pertanian tumbuh pesat.
Keberadaan air juga membangkitkan industri listrik di sana. Karena tidak ada batu bara, rakyat Palestina lantas memanfaatkan derasnya air Sungai Yordan untuk sumber energi listrik. Pemanfaatan ini dibuktikan dengan keberadaan Palestine Electric Corporation pada 1926. Belakangan, di kota-kota besar, seperti Tel Aviv dan Haifa, pembangkit listrik tenaga air mulai bermunculan.
Kedua, sumber daya mineral. Ahli geologi itu menyebut Palestina memiliki banyak kekayaan mineral, seperti kapur, basal, tembaga, mangan dan aspal. Tak hanya itu, negara tersebut juga punya sumber daya yang sangat potensial, yakni minyak bumi.
"Struktur geologi Palestina menunjukkan bahwa minyak bumi dan produk sejenisnya dapat ditemukan di beberapa tempat dalam jumlah yang menguntungkan secara ekonomi," tulis Bonne.
Kata kuncinya adalah "menguntungkan secara ekonomi." Artinya, minyak bumi tersebut apabila dikelola dengan baik bisa membuat Palestina bisa mencapai kesejahteraannya.
Apalagi, ketika riset itu terbit pada 1938, sudah ada negara yang kaya raya berkat eksploitasi minyak bumi, seperti Amerika Serikat, Iran, dan negara Timur Tengah lain. Arab Saudi yang menemukan minyak di tahun 1938, juga kelak menjadi negara kaya raya.
Jika mengacu pada kasus tersebut, maka Palestina harusnya bisa memiliki nasib sama.
Sayang, seiring waktu, jalan sejarah Palestina berbeda. Sepuluh tahun kemudian setelah riset itu terbit, tepat pada 1948, Davin ben-Gurion secara mengejutkan memproklamirkan negara Yahudi pertama di dunia bernama Israel di tanah Palestina. Dari sinilah, situasi mulai berbeda.
Sejak pendudukan pertama Israel dilakukan, tulis laporan PBB tahun 2019, penduduk Palestina mulai kehilangan kendali atas kepemilikan sumber daya alam, khususnya pasokan atas 'harta karun' air.
Otoritas Israel secara nyata menyita kepemilikan air rakyat Palestina. Dalam laporan Human Right Watch, penyitaan tersebut secara sah melanggar hukum internasional yang melarang pengambilalihan sumber daya wilayah lain demi keuntungan sendiri.
Meski begitu, tetap saja Israel tak mundur. Bahkan, dalam catatan Amnesty International, pada 1967 Israel secara sadar mencabut hak warga Palestina atas air di Tepi Barat.
Kala itu, Israel melarang warga Palestina mengebor air sumur baru, memperdalam sumur, dan tidak diperbolehkan mengambil air dari Sungai Yordan. Bahkan, Israel juga mengontrol dan membatasi lokasi penampungan air hujan yang tersebar di Tepi Barat. Mereka berpikir air akan 'mematikan' kehidupan Palestina.
Benar saja, tak lama kemudian membuat sekitar ratusan komunitas Palestina tidak memiliki akses terhadap air bersih. Sekalipun bisa terakses, airnya kecil sekali dan berkualitas sangat buruk. Menurut PBB, dampak dari kebijakan ini membuat ekonomi Palestina tidak tumbuh. Sektor pertanian, yang sebelumnya sangat diandalkan, dan industri hancur lebur.
Pada titik inilah, Israel memberlakukan bisnis air kepada warga Palestina, yang dahulu punya kontrol air. Menurut PBB, Israel mematok harga ke warga Palestina dan dari sini negara pun mendapat keuntungan secara ekonomi.
Masalah ini bukan hanya persoalan air, tetapi juga minyak bumi yang seiring berjalannya waktu terbukti bahwa di tanah Palestina ada minyak bumi melimpah. Menurut laporan USGS, di bawah tanah Palestina kedalaman 1.000-6.000 meter bisa ditemukan minyak dan gas bumi dalam jumlah besar.
Bahkan, ada lokasi spesifik bernama Levant Basin yang menjadi salah satu sumber gas terpenting di dunia. Tercatat, dari lokasi itu ada 1,7 miliar barel minyak dan 122 triliun kubik gas yang bisa diangkut.
Sayang, sama seperti kasus air, kepemilikan harta karun ini menjadi kontroversi.
Dalam catatan kolumnis Mahmoued Elkhafif di Al Jazeera, seluruh 'harta karun' itu sama sekali tidak dipegang oleh warga Palestina. Pasalnya, mereka telah kehilangan kontrol atas kepemilikan sumber daya fosil sejak tahun 1967.
Pada 1995, memang ada perjanjian eksploitasi migas di lepas pantai antara British Gas Group dengan Israel-Palestina. Namun, seiring waktu Mahmoud mencatat, "British Gas Group dan Israel mengabaikan Palestina soal urusan pengembangan dan hak eksplorasi."
Setelahnya, tiap kali ada penemuan migas, Israel selalu mengambilalih. Pada titik inilah, Mahmoud mengatakan Israel secara sah melanggar berbagai hukum internasional, dari mulai Konvensi Jenewa dan berbagai aturan Hak Asasi Manusia.
Kata Mahmoud, sudah seharusnya pembagian pendapatan minyak dan gas diberikan secara adil. Pasalnya, hasil uang itu bisa digunakan untuk berinvestasi dalam rekonstruksi, rehabilitasi, dan pemulihan ekonomi jangka panjang.
Pada akhirnya, kasus perebutan ini terus berlangsung hingga sekarang. Bahkan, menjadi 'senjata' andalan Israel. Dalam kasus terbaru, misalkan, Israel mengumumkan telah melakukan isolasi total ke wilayah Gaza. Mereka memutus pasokan, logistik, dan air imbas memanasnya konflik. (*)