Garuda Indonesia
Penulis:Eva Pardiana
Editor:Eva Pardiana
JAKARTA – Mantan Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) Peter Frans Gontha membeberkan sejumlah masalah yang melilit maskapai penerbangan nasional tersebut.
Menurut dia, jantung permasalahan maskapai pelat merah tersebut adalah proses negosiasi dengan para lessor (penyewa pesawat) asing yang tidak dilakukan melalui proses bisnis yang baik.
Akibat negosiasi yang salah, Garuda Indonesia kini terancam bangkrut karena memiliki utang terbesar dalam sejarah perusahaan BUMN.
Hingga Juni 2021, total kewajiban perseroan mencapai US$12,96 miliar atau setara Rp180,24 triliun, termasuk utang jatuh tempo Rp70 triliun.
"Sejak Februari 2020 saya sudah katakan salah satu jalan adalah nego dengan para lessor asing yang semena-mena memberi kredit pada Garuda selama 2012-2016 yang juga saya tentang," ujarnya dikutip dari akun Instagramnya @petergontha, Kamis (28/10/2021).
Peter pernah mewakili Chairul Tanjung alias CT yang tercatat mengempit saham Garuda Indonesia sebesar 28% melalui Trans Airways.
Tidak lama di Garuda Indonesia, Peter dipecat dari jajaran Komisaris pada 13 Agustus 2021. Dia dipecat bersama dengan Dony Oskaria yang kini menjabat sebagai Direktur Utama (Dirut) Aviasi Pariwisata Indonesia.
Dony sebelumnya menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sejak Januari 2020-Agustus 2021.
Dalam pernyataannya, Peter juga menyoroti talangan pemerintah melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp8,5 triliun yang diberikan kepada Garuda Indonesia untuk melakukan restrukturisasi utangnya.
Tahap pertama dari PMN tersebut dicairkan pada Februari 2021 sebesar Rp1 triliun. Sisanya kemungkinan besar tidak lagi disalurkan setelah DPR menolak subsidi pemerintah untuk korporasi bermasalah yang diduga praktik korupsi.
Peter mengatakan, dana PMN Rp1 triliun tersebut sebetulnya tidak pernah bisa membantu Garuda Indonesia menyelesaikan restrukturisasinya.
Karena itu, dia sempat menolak mencairkan dana tersebut. Namun langkahnya ditentang oleh manajemen perseroan bahkan dimusuhi.
"Pada tanggal 27 Desember 2020 yang lalu pada waktu saya tengah berlibur di Bali, saya dituduh memperlambat atau mempersulit pencairan uang PMN pada Garuda. Saya dipaksa menyetujui penarikan Rp1 triliun. Saya akhirnya tandatangan tetapi saya tahu itu sama dengan buang garam di laut," katanya.
Peluang untuk mendapatkan lagi dana PMN yang tersisa makin sulit bagi Garuda Indinesia, hal yang membuat proses restrukturisasi makin buntu.
Menteri BUMN Erick Thohir baru-baru ini menegaskan bahwa dana PMN yang dialokasikan tahun depan tidak lagi untuk mengurus korporasi bermasalah tetapi fokus pada penugasan.
Di sisi lain, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan pemerintah telah membuka opsi penutupan maskapai tersebut jika proses restrukturisasi utang gagal.
Dia menyebut, Kementerian BUMN akan melakukan transformasi maskapai Pelita Air yang sahmanya dimiliki Pertamina dari air charter sebagai maskapai full service domestik.
Langkah tersebut direstui oleh mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Menurut dia ada pilihan cerdas ketika pemerintah menutup Garuda Indonesia dan menggantikannya dengan Pelita.
Menurut dia, setelah digantikan oleh Pelita dalam melayani penerbangan domestik, manajemen baru tidak punya beban masa lalu, termasuk ke para penyewa pesawat dan pemburu rente.
"Menteri BUMN memang cerdas: memilih Pelita sebagai pengganti Garuda Indonesia, kalau memang diperlukan, mungkin itu tidak perlu. Garuda akan baik-baik saja sepanjang Pertamina terus memberi bahan bakar," ujarnya dikutip dari laman disway.id, Selasa (26/10/2021). (*)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Daniel Deha pada 29 Oct 2021