LPS Bubarkan 118 Bank Bermasalah Periode 2005 hingga Desember 2022

2023-02-10T05:36:08.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Redaksi

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatata kinerja positif industri jasa keuangan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah kondisi ketidakpastian perekonomian global
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatata kinerja positif industri jasa keuangan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah kondisi ketidakpastian perekonomian global

JAKARTA - Sejak 22 September 2005 hingga 31 Desember 2022, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melakukan likuidasi atau menutup 118 bank bermasalah yang terdiri dari 1 bank umum, 104 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan 13 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). 

Dari 118 bank yang telah dilikuidasi tersebut, sebanyak 115 bank telah selesai proses likuidasi. Sementara tiga bank masih dalam proses penyelesaian, yakni PT BPR Utomo Widodo di Ngawi, Jawa Timur, PT BPRS Asri Madani di Jember, dan PT BPR Pasar Umum di Denpasar, Bali.

Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan LPS telah melakukan pembayaran klaim penjaminan simpanan kepada 286.834 rekening dengan total nominal sebanyak Rp 2,1 triliun.

Sepanjang tahun 2022 terdapat satu BPR yang dicabut izin usahanya dan dilikuidasi yaitu BPR Pasar Umum yang berada di Bali," ujar Purbaya dikutip Jumat, 10 Februari 2023.

Dari jumlah simpanan nasabah tersebut, lanjut Purbaya, LPS menetapkan simpanan layak bayar sebesar Rp 1,7 triliun atau 82,29 persen dari total simpanan, yang mewakili 267.759 rekening atau 93,35 persen dari total rekening. 

"Sementara simpanan tidak layak bayar sebesar Rp 372 miliar atau 17,71 persen dari total simpanan yang merepresentasikan 19.075 rekening atau 6,65 persen dari total rekening," imbuhnya.

Dia menjelaskan ada tiga faktor penyebab simpanan tidak layak bayar, yakni tingkat bunga penjaminan banknya lebih besar dari bunga penjaminan LPS sebanyak 76,63 persen dari total nominal tidak layak bayar.

"Penyebab selanjutnya, tidak ada dana aliran masuk sebesar 9,46 persen dari nominal tidak layak bayar, serta bank yang tidak sehat sebesar 13,91 persen dari total nominal tidak layak bayar," kata Purbaya. (*)