pinjol
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Yunike Purnama
BANDAR LAMPUNG - Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi melarang masyarakat untuk mempergunakan uang dari hasil pinjaman online (pinjol) maupun layanan sejenisnya untuk memenuhi kebutuhan bersifat konsumtif. Seperti membeli pakaian hingga sepatu yang nilainya akan turun.
Larangan ini dimaksudkan untuk terhindar dari potensi tanggungan bunga yang tinggi oleh nasabah hingga gagal bayar.
"Ini utang (pinjol) jangan dipakai untuk konsumsi, (membeli) pakaian, sepatu atau (barang konsumtif) apa pun," tegasnya saat memberikan Kuliah Umum, Jumat, 26 Agustus 2022.
Inarno menerangkan, utang konsumtif erat kaitannya dengan pengenaan bunga yang tinggi. Sehingga, berpotensi membebani keuangan masyarakat dikemudian hari.
"Ini adalah hutang, jadi harus betul-betul bijaksana. Karena tetap saja harus dikembalikan," bebernya.
Selain itu, Inarno juga meminta masyarakat untuk menghindari perusahaan pinjol ilegal yang menawarkan kemudahan persyaratan untuk peminjam. Mengingat, adanya pengenaan bunga tinggi hingga pencurian data pribadi untuk meneror nasabah yang mengalami kesulitan bayar.
"Tentunya bapak ibu harus selalu ingat, walaupun itu namanya pinjol atau apapun ya teknologinya. Kita mesti harus (hati-hati) terhadap hal tersebut," pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam L. Tobing mengatakan, setidaknya ada empat ciri terkait pinjol ilegal yang harus diketahui masyarakat. Pertama, tidak terdaftar atau berizin di OJK.
"Jadi, mereka tidak menyampaikan pendaftaran di OJK. Karena memang sengaja untuk melakukan kejahatan," ucapnya.
Dia mencatat, Dia mencatat, saat ini baru ada 106 pinjaman online atau fintech peer-to-peer (p2p) lending yang terdaftar dan berizin OJK. Untuk mengetahui daftarnya masyarakat dapat mengakses situs resmi OJK melalui alamat portal www.ojk.go.id atau klik bit.ly/daftarfintechlendingOJK.
"Masyarakat juga dapat mengetahuinya di berbagai media sosial official OJK," imbuhnya
Kedua, tidak memiliki kantor dengan alamat resmi dan tidak adanya struktur kepengurusan. "Ini sengaja, bahkan nomornya juga ganti-ganti terus," jelasnya.
Ketiga, proses pencairan pinjaman dilakukan dengan sangat mudah. Yakni, cukup dengan fotokopi atau foto diri. "Tapi itu menjebak. Karena bunganya tinggi dan ada pemaksaan kehendak di sana, ujungnya bisa ada pemerasan," tuturnya.
Keempat, adanya ketentuan untuk memperbolehkan akses data handphone. Termasuk kontak nomor telepon. "Akses ini digunakan sebagai alat intimidasi mereka pada saat penagihan mereka melakukan teror, perbuatan tidak menyenangkan apabila peminjam tidak bisa memenuhi kewajibannya," katanya. (*)