OJK Lampung
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
BANDARLAMPUNG - Organisasi lingkungan internasional Greenpeace menyebut perdagangan karbon adalah solusi palsu dalam mengatasi krisis iklim.
Perdagangan karbon ialah penjualan kredit karbon dari perusahaan yang menghasilkan sedikit karbon kepada perusahaan yang menghasilkan banyak karbon dari aktivitasnya. Sebagai informasi, pemerintah telah meresmikan bursa karbon pada Selasa, 26 September 2023 dan transaksi di hari pertama sudah tembus Rp29,2 miliar.
Dikutip dari laman resmi Greenpeace, Khalisah Khalid dari Greenpeace Indonesia terang-terangan menyebutkan bahwa perdagangan karbon atau karbon offset merupakan praktek greenwashing.
“Setiap perusahaan yang mengumumkan dana untuk melindungi hutan melalui skema carbon offset hanya melakukan greenwashing jika mereka tidak berkomitmen secara sungguh- sungguh untuk menurunkan emisi mereka," kata Khalisah dilansir Minggu, 8 Oktober 2023
Jaringan masyarakat sipil lain juga turut menyampaikan ketidakefektifan karbon offset untuk menangani krisis iklim.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukko Sombolinggi, mengatakan bahwa dengan membiarkan korporasi pelaku pencemar tetap menjalankan bisnis seperti biasanya, skema offseting justru melahirkan ketidakadilan.
Terlebih, di tengah ketidakhandalan hukum Indonesia dalam mengakui dan melindungi Masyarakat Adat dan wilayah adat, mekanisme tersebut berpotensi menjadi tunggangan baru para perampas wilayah adat.
“Negara-negara dan komunitas global seharusnya tidak lagi berkutat pada mekanisme pasar, tetapi harus serius membicarakan mekanisme dukungan yang berbeda terhadap berbagai inisiatif dan praktek Masyarakat Adat dalam menjaga, melindungi, dan mengelola wilayah adat dan sumberdaya yang telah berkontribusi langsung pada penurunan emisi dan peningkatan stok karbon," tegas Rukka.
Dikutip dari TrenAsia.com jaringan Kabarsiger.com tak lama setelah perdagangan karbon diresmikan pemerintah, sejumlah jaringan masyarakat sipil dan kelompok lingkungan memboikot perdagangan karbon seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Greenpeace, dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Ada pula Yayasan Pikul, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan School of Democratic Economics (SDE). Penolakan tersebut juga telah disampaikan melalui surat berjudul “Boikot Perdagangan Karbon, Hentikan Pelepasan dan Pembongkaran Emisi, dan Percepat Pengakuan Wilayah Adat serta Wilayah Kelola Rakyat!” yang disampaikan kepada Presiden, kementerian terkait, Bursa Efek Indonesia, dan lembaga verifikasi internasional yaitu Verra. (*)