BEI
Penulis:Eva Pardiana
JAKARTA — CEO dan Presiden Direktur GOTOKO Gurnoor Singh Dhillon menambahkan nyatanya dari total lebih 3 juta warung, 80% atau lebih dari dua juta warung bahkan masih dikategorikan sebagai warung yang kurang terlayani (underserved retailers).
Warung-warung tersebut umumnya tidak memiliki akses langsung kepada brand principal, sehingga pasokan barang mereka utamanya berasal dari agen sekunder, oleh karenanya para pemilik warung kerap menghadapi masalah dalam memenuhi pasokannya.
Kondisi ini kemudian membuat operasional bisnis warung menjadi tidak efisien dan mengurangi kemampuan mereka untuk melayani pelanggan dengan baik. Pemilik warung misalnya harus perlu menutup warungnya saat belanja kebutuhan pasokan warung sehingga mengurangi pendapatan hariannya.
Minimnya akses terhadap brand principal secara langsung juga membuat pemilik warung tidak dapat mendapatkan program-program loyalitas, yang turut mengurangi marjin mereka dalam menjalankan bisnis.
“GOTOKO hadir sebagai teman terbaik warung dengan visi dan misi untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut melalui digitalisasi guna membantu pemilik warung mengembangkan bisnisnya dengan efisien, membantu meningkatkan pendapatan sekaligus taraf hidup pemilik warung beserta keluarganya,” ungkap Gurnoor dalam Webinar Digitizing Indonesia’s Informal Economy di Jakarta, Selasa, 6 September 2022.
Gurnoor menambahkan GOTOKO hadir dengan fokus strategi memenangkan berbagai wilayah di Indonesia, baik yang besar maupun kecil untuk mengembangkan bisnis warung, sekaligus mendorong digitalisasi warung untuk memperkokoh ekosistem bisnis warung. Termasuk untuk membantu brand principal meningkatkan jangkauan langsungnya kepada warung untuk mendorong pertumbuhan mereka seiring dengan pertumbuhan warung.
Digitalisasi juga akan mendorong integrasi ekosistem seperti sektor keuangan, hingga mendorong sektor penyimpanan data yang lebih baik yang akan membantu Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam mendorong transformasi digital pelaku UMKM.
Head of Center of Digital Economy and SMEs INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, menyampaikan bahwa potensi ekonomi digital di Indonesia sangat besar, termasuk potensinya bagi UMKM. “UMKM yang memanfaatkan teknologi digital selama masa pandemi, misalnya masuk ke digital platform untuk menjual produk dan mampu mengakses fintech untuk pembiayaan produktif, mengalami perkembangan pesat dan menolong UMKM bertahan di kondisi sulit”, ucap Eisha. Dengan demikian, UMKM yg masuk ke ekonomi digital memiliki potensi yg lebih besar untuk akses pasar, keuangan, dan sumber daya.
Namun, UMKM juga memiliki sejumlah keterbatasan. “Kemampuan dalam adopsi digital, keterbatasan skill dan pengetahuan (digital literasi), dan keterbatasan finansial menjadi sejumlah hambatan bagi UMKM untuk masuk ke ekosistem ekonomi digital”. Menurutnya, berbagai tantangan UMKM itu harus diatasi agar UMKM mampu naik kelas.
Dengan adanya potensi dan tantangan tersebut, Eisha memaparkan bahwa, “digitalisasi memang tidak hanya akan bermanfaat bagi para warung, melainkan seluruh pemangku kebijakan dalam ekosistem bisnis warung ini”. Eisha memberi beberapa contoh seperti brand-brand principals, perusahaan-perusahaan logistik, distributor, dan lainnya. “Oleh karenanya, Indonesia perlu mendorong kolaborasi dari seluruh pemangku kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan literasi digital bagi pelaku UMKM sehingga mengakselerasi pemulihan ekonomi” tandasnya.
Indonesia menjadi negara yang mencatat pertumbuhan ekonomi digital paling pesat di kawasan ASEAN. Melansir pada riset Google, Temasek, dan Bain (2021), ekonomi digital telah berkontribusi hingga 3,7% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada 2021, dan diproyeksikan akan meningkat kontribusinya hingga 9,3% pada 2025. Segmen Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) menjadi salah satu pendorong utama.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menjelaskan saat ini pemerintah tengah mendorong para pelaku UMKM untuk melakukan digitalisasi guna mengembangkan usahia hingga meningkatkan taraf hidup. Situasi pandemi yang membatasi mobilitas masyarakat, diterangkan Menteri Teten telah menjadi momentum bagi para pelaku UMKM dalam mendigitalisasi ekosistem bisnisnya.
“Selama pandemi, pelaku UMKM yang sudah memanfaatkan digitalisasi telah terbantu, bahkan turut bertumbuh, karena ada kaitannya karena pembatasan secara fisik. Di sisi lain, Kementerian Koperasi dan UMKM juga kini terus mendorong bagaimana pelaku usaha informal dapat bertransformasi menjadi formal yang salah satunya melalui digitalisasi untuk mendorong pemulihan ekonomi secara transformatif,” ungkap Teten saat membuka Webinar Digitizing Indonesia’s Informal Economy.
Menteri Teten menambahkan, Kementerian Koperasi dan UMKM juga tengah mendorong pertumbuhan dari hulu sampai hilir guna mendorong percepatan transformasi digital. Ia menjelaskan ada tujuh aspek yang sedang didorong: akses pasar, pemantauan kualitas produksi, keuangan dan pembiayaan, organisasi, kapasitas produksi, pasokan, dan distribusi logistik. Aspek-aspek ini merupakan kunci untuk menciptakan ekosistem yang tanggap digital.
Deputi Bidang Mikro Kementerian Koperasi dan UKM Eddy Satriya menambahkan implementasi digital masih menjadi tantangan bagi pelaku UMKM kini. Pada 2021, dari total sekitar 4 juta pelaku UMKM, baru ada sekitar 26% atau 17,59 juta pelaku UMKM memanfaatkan ekosistem digital. Apalagi bagi para pelaku usaha yang justru sangat mendominasi ekosistem UMKM.
“Segmen mikro ini hampir mencapai 64 juta pelaku usaha, atau 99% lebih dari total pelaku UMKM yang ada. Kami terus mendorong digitalisasi kepada para pelaku UMKM, kami menargetkan pada 2024 setidaknya ada 30 juta pelaku UMKM yang sudah memanfaatkan digitalisasi,” ungkap Eddy dalam kesempatan serupa.
Direktur Digital Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika I Nyoman Adhiarna menambahkan sejatinya 74% pelaku UMKM telah menyadari manfaat digitalisasi bagi bisnisnya, namun baru ada 20% yang memiliki literasi digital dan memanfaatkan platform-platform belanja daring.
“Para pelaku UMKM masih memiliki keraguan dan ketidakpercayaan diri dalam mengadopsi sekaligus memanfaatkan berbagai platform digital. Keterbatasan modal bisnis, kurangnya literasi digital, serta tidak memiliki alat maupun gawai digital menjadi tiga alasan utama pelaku UMKM,” kata I Nyoman.
Ia menambahkan, apabila disandingkan dengan UMKM yang belum digitally onboarded, UMKM yang sudah terintegrasi digital dapat menerima pendapatan 1,1 kali lebih banyak, mampu memperoleh cakupan pasar 2,1 kali lebih luas di level nasional, dan 4,6 kali lebih luas di level internasional, serta 1,3 kali lebih mungkin membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain.
Upaya digitalisasi ini juga sejalan dengan tema besar dalam Presidensi G20 Indonesia 2022 yaitu transformasi digital yang inklusif, termasuk kepada pelaku UMKM, sehingga pertumbuhan pada sektor ini juga pasti akan berdampak positif terhadap ekonomi nasional. Meski demikian, transformasi digital para pelaku UMKM, terutama pada segmen ultra mikro misalnya warung-warung kelontong memang tak mudah.
Padahal menurut warung memiliki peran penting sebagai sarana perdagangan utama di Indonesia. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, 76.085 desa/kelurahan atau lebih dari 80% desa/kelurahan di Indonesia mengandalkan warung sebagai sarana perdagangan utama masyarakat. Jumlah warung sebanyak lebih dari 3,6 juta saat ini juga berkontribusi lebih dari 80% terhadap nilai perdagangan ritel di Indonesia. (*)