ojk
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) menunjukan kinerja positif sepanjang 2022. Hal tersebut tercermin dari total aset BPR/BPRS menunjukan pertumbuhan sebesar 9,14% menjadi Rp 202,46 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya Rp 185,50 triliun.
Direktur Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, pertumbuhan total aset ditopang oleh penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) yang tumbuh 9,17% secara tahunan (yoy).
"Dari sisi penyaluran dana, kredit BPR/BPRS tumbuh sebesar 11,81%. Nilai tersebut telah melebihi tingkat pertumbuhan pre-pandemi covid 19 yang tercatat sebesar 10,85%," kata Dian dalam Webinar pada Senin, 27 Februari 2023.
Secara agregat, ketahanan permodalan industri BPR/BPRS dalam kondisi memadai di tengah eksposur resiko yang masih tetap manageable. Sementara untuk market share industri BPR/BPRS di dominasi oleh 95 BPR/BPRS dengan modal inti di atas Rp 50 miliar dengan total aset agregat mencapai 42,08% dari total aset indutri BPR/BPRS.
"Adapun BPR dengan total aset tertinggi telah mencapai Rp 10,14 triliun," ungkapnya.
Dian mengatakan, peran dan kontribusi BPR dan BPRS ini masih sangat dibutuhkan baik dalam pembangunan daerah, pengembangan UMKM, penyediaan produk, dan layanan keuangan pada masyarakat, serta percepatan pertumbuhan ekonomi di daerah.
Per Desember 2022, jumlah BPR dan BPRS tercatat sebanyak 1.608 unit. Jumlah tersebut mengalami tren penurunan sejak 2015 yang tercatat sebanyak 1.800 BPR dan BPRS. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh dipengaruhi oleh proses konsolidasi, pencabutan izin usaha, dan likuidasi sendiri.
Dengan mempertimbangkan tingkat pertumbuhan industri BPR/BPRS di tengah proses konsolidasi yang tengah berjalan, OJK akan mengakselerasi proses konsolidasi BPR/BPRS melalui enam strategi.
OJK akan menodorong penggabungan usaha BPR/BPRS dengan kepemilikan yang sama, membentuk holding grup bagi BPR/BPRS dengan kepemilikan yang sama, mendorong pembentukan anchor bank bagi BPR/BPRS milik pemerintah daerah, dan memberikan perintah penggabungan usaha bagi BPR/BPRS yang tidak mampu menjaga kelangsungan usaha.
Kemudian, OJK juga mendorong likudasi sendiri bagi BPR/BPRS yang pemiliknya tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan usahanya, menerapkan kebijikan exit policy terhadap BPR/BPRS yang memiliki kinerja yang buruk dan tidak memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah.
Dian juga mengatakan, saat ini industri BPR dan BPRS menghadapi sejumlah tantangan. Baik dari dinamika isu global dan domestik, perubahan perilaku masyarakat pada produk dan layanan keuangan, serta persaingan antar lembaga jasa keuangan, isu mendasar terkait dengan tantangan struktural. (*)