natuna
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi
JAKARTA — Praktik illegal drilling dan illegal tapping yang terjadi diberbagai daerah dinilai sudah sangat mengkhawatirkan. Selain merugikan keuangan negara, maraknya praktik ini telah menimbulkan banyaknya kebocoran sumur minyak dan gas (migas) hingga pencemaran lingkungan. Penindakan yang tegas dengan melibatkan seluruh unsur penegak hukum dari pusat hingga daerah harus menjadi prioritas.
Pengamat Hukum Sumber Daya dari Universitas Tarumanegara (Untar), Ahmad Redi menilai, praktik illegal drilling maupun illegal tapping adalah kejahatan di sektor migas. Praktik ini terjadi akibat lemahnya penegakan hukum. Itu sebabnya dibutuhkan aturan yang kuat dan mengikat kepada para pemangku kepentingan di sektor migas.
“Sebenarnya dalam instrumen hukum migas sudah ada penyidik negeri sipil di bidang migas. Mereka melakukan fungsi penyelidikan dan pengawasan terhadap kejahatan-kejahatan migas. Sayangnya instrumen hukum itu belum cukup untuk menertibkan praktik illegal drilling dan illegal taping di berbagai wilayah kerja migas,” terang Redi di Jakarta.
Dalam beberapa bulan terakhir telah terjadi berbagai kecelakaan kerja di lokasi illegal drilling. Seperti di wilayah Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan yang beberapa kali terjadi ledakan dilokasi pengeboran dan menimbulkan korban meninggal dan mengalami luka bakar. Berdasarkan data SKK Migas, terdapat kurang lebih sekitar 4.500 sumur ilegal, dengan produksi 2500 BOPD. Dalam kondisi tertentu, produksi sumur ilegal ini bisa mencapai 10.000 BOPD.
SKK Migas membedakan kategori pengeboran migas diluar KKKS. Pertama adalah sumur tua, yaitu sumur minyak bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksikan oleh KKKS. Pengelolaan sumur tua ini mendapatkan persetujuan dari Ditjen Migas Kementerian ESDM dan terdapat perjanjian kerjasama antara KUD/BUMD dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Produksi minyak pada sumur tua disetorkan dan tercatat di KKKS serta dilaporkan ke SKK Migas, untuk menjadi pendapatan negara.
Kedua sumur ilegal, yaitu umur yang dibor tanpa izin dari instansi terkait yang mewakili pemerintah/negara. Pengelolaan dilakukan oleh perorangan, sekelompok orang tanpa ada kontrak kejasama dengan SKK Migas atau tanpa izin dari negara. Produksi minyaknya digunakan oleh pengelola sumur ilegal untuk kepentingan individu.
Menurut Redi, pemerintah harus berani melakukan pengawasan, sekaligus melakukan tindakan yang dibutuhkan untuk menghindari dampak buruk kegiatan illegal tersebut. Lebih jauh Redi mengungkapkan, salah satu persoalan lemahnya penindakan illegal drilling adalah terbatasnya wewenang Pemerintah daerah (Pemda). Sebab, seluruh kegiatan yang mengatur tentang migas menjadi kewenangan pemerintah pusat, baik di sektor hulu maupun hilir.
“Kalau Pemda diberikan kewajiban untuk melakukan penegakan hukum tapi tidak diberikan hak apapun, ini akan menjadi persoalan,” ungkap Redi.
Mengingat situasi sudah sangat mendesak, Ia menyarankan pemerintah pusat segera membuat payung aturan yang bisa mengakomodasi keterbilatan pemerintah daerah. Karena dalam praktiknya, kegiatan hulu migas lebih banyak berhubungan dengan masyarakat dan pemerintah daerah.
“Untuk mepercepat proses bisa melalui Perpres yang bisa menciptakan kepastian dalam penindakan hukum. Termasuk mengatur kewajiban dan hak pemerintah dalam mengatur aktivitas migas di wilayah mereka. Ini momentum untuk melakukan mitigasi berbagai macam masalah di daerah termasuk illegal drilling dan illegal tapping,” ungkap dia.
Sebelumnya Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Halilul Khairi menjelaskan permasalahan penanganan sumur illegal di Indonesia, yakni pada substansi aturan yang ada. Aturan dan batasan pemerintah daerah dalam mengawasi dan penertiban illegal drilling ini sangat sempit.
Menurutnya, Pemda tidak punya kewenangan dalam penertiban illegal drilling karena persetujuan kesesuaian tata ruang dan persetujuan lingkungan jadi kewenangan pusat. Namun, pemda dapat turut serta dalam penertiban illegal drilling melalui tugas pembantuan dari pusat.
"Pemerintah daerah dapat turut serta dalam penertiban illegal drilling melalui tugas pembantuan dari pemerintah pusat namun tidak dapat menggunakan perangkat daerah penegak Perda dan peraturan kepala daerah atau perkada sepanjang perizinannya tidak diatur dengan Perda atau Perkada,”," jelas dia dalam diskusi media belum lama ini.
Dengan begitu, lanjut Halilul, pusat harus melakukan sendiri pengawasan dan penertiban terhadap illegal drilling migas sebagai konsekuensi sentralisasi kewenangan yang dilakukan melalui UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.