Deindividuasi: Berkelompok Buat Seseorang Menjadi Berani

2022-06-07T11:25:53.000Z

Penulis:Eva Pardiana

Editor:Eva Pardiana

0506artikel ms ado.jpg
Theresia Esterlita Asmoditomo, Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Sebelas Maret, Solo

BEBERAPA waktu lalu, peristiwa pengeroyokan terhadap salah satu dosen Universitas Indonesia terjadi dalam aksi demonstrasi. Dalam peristiwa yang menjadi sorotan publik itu membuat Ade Armando mengalami luka-luka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit selama satu bulan. 

Akhir-akhir ini kita juga mendengar maupun membaca berita klithih yang bahkan banyak membawa korban jiwa. Selain itu, kita juga kerap melihat konvoi sepeda motor pada saat perayaaan kelulusan atau kampanye partai politik di jalan yang terkadang peserta konvoi itu ugal-ugalan saat mengendarai sepeda motor. 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti pernah tanpa malu untuk membuat video Tik-Tok di sebuah restoran yang ramai ketika sedang bersama teman-teman. Di saat yang sama, kita tanpa sadar bahkan tidak ragu untuk tertawa dengan keras, berbicara sesuka hati, seolah tidak akan ada yang menegur kita. 

Lalu, pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa sekelompok orang berani melakukan tindakan yang mungkin ketika seseorang sedang sendirian tidak berani melakukannya?

Fenomena yang sudah disebutkan di atas dapat kita lihat dari perspektif psikologi sosial. Menurut David G. Myers dan Jean M. Twenge dalam buku berjudul Social Psychology edisi Ke-13 yang terbit pada 2019, perilaku yang tidak terkendali terjadi karena adanya provokasi oleh “kekuatan berada dalam sebuah kelompok”.

Dalam teori fasilitasi sosial, kehadiran orang lain dapat membuat performa kita lebih terdorong  dalam melakukan sesuatu. Selain itu, menurut teori kemalasan sosial, ketika kita sedang dalam sebuah kelompok kita akan cenderung mengurangi rasa tanggung jawab kita. 

Bangkitkan Keberanian

Kedua teori ini dapat mendasari situasi yang terjadi dalam sebuah kelompok. Kelompok dapat membangkitkan gejolak dalam diri seseorang hingga mereka berani melakukan hal-hal yang bahkan melanggar peraturan. Peristiwa ini terjadi karena adanya “deindividuasi”.

Apa Itu deindividuasi? Deindividuasi adalah keadaan di mana individu kehilangan self-awareness (kewaspadaan diri) dan evaluation apprehension (kekhawatiran akan evaluasi orang lain) yang terjadi saat sedang berada di dalam sebuah kelompok, hal ini mendorong responsivitas terhadap norma kelompok, baik atau buruk (Myers & Twenge, 2019). Ketika sedang berada di dalam sebuah kelompok, orang akan cenderung mudah meninggalkan norma, melupakan identitas diri, dan mengikuti norma kelompok tersebut; peristiwa ini disebut deindividuasi (Festinger, Pepitone, & Newcomb, 1952). Deindividuasi ditandai dengan hilangnya self-awareness dan berkurangnya ketakutan individu karena sedang berada dalam kelompok.

Proses Terjadinya Deindividuasi

Menurut model teori Diener (dalam Li, 2010) ada tiga tahap terjadinya deindividuasi, yaitu:

  1. Kondisi situasi seperti pengaturan kelompok, aktivitas fisik, atau gangguan,
  2. Penurunan self-awareness, individu fokus pada keterlibatannya dalam kelompok dan memenuhi perannya sebagai anggota kelompok,
  3. Terjadi perilaku ‘tanpa hambatan’ sebagai hasil dari keberadaan dalam suatu kelompok.

Faktor yang memengaruhi terjadinya deindividuasi adalah:

1. Ukuran Kelompok

Sebuah kelompok memiliki kekuatan untuk membuat anggotanya tidak dikenali (Myers & Twenge, 2019). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mann (1981), dalam sebuah keramaian, jika ada seseorang yang mengancam untuk melompat dari atas gedung, pada kerumunan yang berukuran kecil dan terpapar sinar matahari kelompok kerumunan itu cenderung tidak meneriaki orang tersebut untuk melompat.

Hal berbeda terjadi dalam situasi di mana kerumunan berukuran besar dan berada di tempat yang gelap atau terjadi pada malam hari sehingga identitas mereka tersamarkan. Kelompok kerumunan itu justru memancing dan mengolok-olok orang tersebut supaya melompat. Semakin besar ukuran kelompok, semakin banyak anggota kelompok yang kehilangan kewaspadaan diri dan mampu melakukan kekejaman seperti membakar, menganiaya, dan tindakan anarki lainnya (Leader dkk., 2007; Mullen, 1986).

2. Anonimitas

Faktor ini menjelaskan mengapa para suporter memakai baju yang sama ketika sedang mendukung klub favorit mereka. Anonimitas juga dilakukan para penjahat ketika mereka melancarkan aksinya dengan memakai penutup wajah dan penyamar identitas lainnya. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Andrew Silke pada tahun 2003, dari pengamatannya terhadap 500 kasus kekerasan yang terjadi di Irlandia Utara, 206 kasus di antaranya mengenakan topeng, hoodie, atau penutup wajah sehingga menjadi anonim melakukan serangan lebih brutal dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan penyamaran. 

Menjadi anonim membuat seseorang kehilangan kesadaran diri, lebih memiliki kesadaran kelompok, dan lebih responsif terhadap situasi baik yang positif maupun negatif (Postmes & Spears, 1998). 

Dian Harmaningsih, Susi Yunarti, dan Wijayanti yang melakukan penelitian pada tahun 2021 dengan judul “Anonimitas Netizen di Media Sosial” menunjukkan hasil bahwa terjadi fenomena deindividuasi oleh akun anonim di media sosial di mana akun anonim lebih banyak mengungkapkan komentar negatif dibandingkan dengan akun dengan nama asli.

Anonimitas ini tidak selalu dalam konteks negatif. Salah satu pemanfaatan teori ini adalah dengan memberikan seragam bagi tentara yang akan berperang sehingga mereka tidak memiliki identitas personal. Dengan tidak memiliki identitas personal, jiwa korsa mereka akan lebih menggebu-gebu dan mereka dapat membela negara dengan lebih semangat. 

Agresivitas sebuah kelompok besar biasanya dipicu oleh tindakan seseorang yang meningkatkan dan mengalihkan perhatian kelompok (Myers & Twenge, 2019). Ada sebuah self-reinforcing pleasure ketika seseorang yang sedang bertindak impulsif melihat orang lain melakukan hal yang sama. 

Self-awareness atau kewaspadaan diri adalah kebalikan dari deindividuasi. Kewaspadaan diri adalah tahap kesadaran diri di mana perhatian kita berfokus pada diri sendiri, sehingga membuat kita lebih peka dengan sikap dan disposisi diri sendiri (Myers & Twenge, 2019). 

Ketika kita memiliki kewaspadaan diri yang tinggi, kecil kemungkinan kita mengalami deindividuasi. Berangkat dari sini, dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menghindari terjadinya deindividuasi dengan meningkatkan kewaspadaan diri. Keberadaan kamera, cermin, pemakaian kartu nama, penyinaran yang terang dapat mengurangi kemungkinan terjadi deindividuasi. Hal itu dapat meningkatkan kewaspadaan diri dan mengurangi anonimitas.

Penulis:

Theresia Esterlita Asmoditomo

Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Sebelas Maret, Solo

Tulisan ini telah tayang di eduwara.com oleh Redaksi pada 06 Jun 2022