Data Penjualan Ritel AS Buat Rupiah Melempem

2023-08-17T05:29:14.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Redaksi

Ilustrasi Kurs Rupiah terhadap Dolar AS
Ilustrasi Kurs Rupiah terhadap Dolar AS

JAKARTA - Data penjualan ritel Amerika Serikat (AS) yang dirilis semalam dapat berimbas kepada potensi melemahnya nilai kurs rupiah pada perdagangan hari ini.

Menurut data perdagangan Bloomberg, Rabu, 16 Agustus 2023, nilai kurs rupiah dibuka menguat 18 poin di posisi Rp15.323 per-dolar AS.

Pada perdagangan sebelumnya, Selasa, 15 Agustus 2023, nilai kurs rupiah ditutup melemah 26 poin di level Rp15.341 per-dolar AS.

Analis PT Sinarmas Futures Ariston Tjendra mengungkapkan rupiah masih berpotensi melemah hari ini karena data penjualan ritel AS yang cukup positif.

Pada Selasa, 15 Agustus 2023 waktu setempat, Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel mengalami pertumbuhan 0,7% pada Juli, lebih tinggi dari 0,2% pada bulan sebelumnya dan melebihi ekspektasi 0,4%.

"Data penjualan ritel Juli 2023 yang dirilis semalam membangun ekspektasi di pasar bahwa The Fed mungkin mempertahankan suku bunga acuannya di level tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama," ujar Ariston kepada TrenAsia, Rabu, 16 Agustus 2023.

Disampaikan oleh Ariston, data penjualan ritel yang positif ini berpeluang untuk mendorong kenaikan inflasi di negeri Paman Sam yang sudah mulai menurun sehingga bank sentral AS bisa jadi mempertahankan pengetatan kebijakan moneternya demi menekan inflasi.

Tidak hanya datang dari AS, sentimen negatif untuk rupiah pun masih berasal dari isu perlambatan ekonomi global yang menekan aset-aset berisiko.

Ditambah lagi, China sebagai mitra dagang utama Indonesia pun masih berkutat dengan perlambatan ekonomi setelah pandemi berlaku.

Potensi Kenaikan Suku Bunga The Fed

Senior Economist Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani memandang bank sentral AS masih punya potensi untuk menaikkan suku bunga dua kali lagi dengan kenaikan masing-masing sebanyak 25 basis poin.

Menurut Aviliani, potensi tersebut dilatarbelakangi oleh diturunkannya peringkat kredit sejumlah bank kecil hingga menengah di AS oleh lembaga pemeringkat utang Moody's.

Tidak berhenti sampai di sana, Moody's pun kini dilaporkan tengah memantau bank-bank besar di AS seperti State Street, Truist Financial, dan US Bancorp untuk kemungkinan penurunan peringkat kreditnya pula.

Menurut Aviliani, secara historis penurunan peringkat kredit ini akan diikuti oleh naiknya suku bunga dari bank sentral.

Dengan demikian, setelah sebelumnya pihak The Fed menyampaikan bahwa pihaknya masih memiliki ruang untuk menaikkan suku bunga satu kali lagi saja, kini ada potensi baggi bank sentral negeri Paman Sam untuk tingkatkan kembali agresivitasnya.

"Biasanya ya, kalau (lembaga pemeringkat) menurunkan rating itu cenderung suku bunganya pasti naik lagi kan karena biasanya ada hubungannya selalu antara rating dengan tingkat suku bunga. Makanya, tadi yang harusnya tinggal 25 basis poin, bisa jadi sampai 50 basis poin sampai akhir tahun," ujar Aviliani seusai acara UOB Media Literacy di Jakarta, Selasa, 15 Agustus 2023 lalu.

Menurut Aviliani, kemungkinan suku bunga The Fed baru diturunkan pada tahun depan, namun penurunannya diprediksi tidak akan terlalu besar karena adanya kemungkinan resesi dan apabila inflasi di AS tidak mengalami penurunan signifikan.(*)