UMKM
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
BANDARLAMPUNG - Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah membantah bahwa pihaknya melakukan praktik monopoli dalam penetapan batas suku bunga bagi industri fintech lending di dalam negeri. Pembatasan bunga tersebut justru dirancang untuk memberikan perlindungan pada konsumen.
Kuseryansyah memberikan paparan historis mengenai penetapan suku bunga di AFPI untuk para anggota asosiasi. Pada awal-awal industri fintech lending tumbuh di Indonesia, tidak ada sama sekali penetapan batas suku bunga bagi setiap pemain di dalamnya.
Akan tetapi, ada banyak komplain karena banyaknya pelaku industri yang menetapkan suku bunga tinggi sebagai dampak tidak adanya pembatasan. Kemudian, ada pula fenomena fintech lending ilegal yang menawarkan pinjaman dengan bunga yang tinggi.
Menurut Kuseryansyah, dulu bahkan ada penyedia layanan yang menetapkan bunga hingga 1-3% perhari, hampir mirip dengan layanan fintech lending ilegal.
"Lalu, fintech lending di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil inisiatif. Kami tidak mau disamakan dengan fintech ilegal," kata Kuseryansyah dalam konferensi pers pada Jumat, 6 Oktober 2023.
Inisiatif tersebut pun bermuara kepada penetapan batas bunga sebesar 0,8% perhari dalam rangka melindungi masyarakat, khususnya dari pinjaman online (pinjol) ilegal yang berpotensi merugikan.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, para penyelenggara fintech lending pun masih terkena komplain dengan batas bunga tersebut sehingga akhirnya AFPI pun mengambil inisiatif untuk menurunkannya lagi menjadi 0,4%.
"Penetapan suku bunga ini itu filosofinya dalam rangka melindungi konsumen. Kita kompakkan untuk tidak mempraktikkan predatory lending," kata Kuseryansyah.
Bunga 0,4 Persen untuk Pinjaman Konsumtif
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar menyampaikan, 0,4% perhari itu diberlakukan untuk pinjaman konsumtif.
Sementara itu, untuk pinjaman produktif, bunga yang dikenakan bahkan bisa lebih rendah lagi, yakni sekitar 0,03%-0,06% perhari.
"Jika lebih dari 0,4% per hari untuk biaya pinjaman jangka pendek berarti melanggar code of conduct industri. Aturan mengenai besaran biaya pinjaman ini sudah mengikuti ketentuan dari OJK sebagai regulator industri fintech P2P lending," kata Entjik.
Entjik pun menegaskan bahwa AFPI selalu berkoordinasi terkait dengan kebijakan bunga bagi para anggotanya. Penurunan batas bunga dari 0,8% menjadi 0,4% pun telah diikoordinasikan dengan OJK.
Dengan kata lain, OJK pun senantiasa me-monitor kebijakan suku bunga dari AFPI bagi para penyelenggara layanan fintech lending.
"Dalam setiap penentuan suku bunga itu kita tidak sendiri, tapi kita minta pendapat dari OJK," tegas Entjik.
Untuk diketahui, Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebelumnya menyatakan bahwa pihaknya telah mulai melakukan penyelidikan awal perkara terkait dugaan pengaturan atau penetapan suku bunga pinjaman kepada konsumen atau penerima pinjaman yang dilakukan oleh AFPI.
Langkah ini diambil sebagai respons atas temuan KPPU setelah melakukan penelitian dalam sektor pinjaman daring (online), berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat.
Dalam hasil penelitian, KPPU menemukan adanya indikasi pengaturan oleh AFPI kepada anggotanya terkait penentuan komponen pinjaman kepada konsumen, terutama dalam penetapan suku bunga flat sebesar 0,8% perhari dari jumlah pinjaman yang diterima oleh konsumen atau penerima pinjaman.
Kebijakan ini diikuti oleh seluruh anggota AFPI yang terdaftar. AFPI sendiri memiliki 89 anggota yang aktif di sektor fintech lending atau peer-to-peer lending.
KPPU merasa perlu untuk menilai apakah penentuan suku bunga pinjaman online oleh AFPI ini mungkin melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Oleh karena itu, KPPU telah membentuk satuan tugas khusus untuk menangani persoalan ini. Proses penyelidikan awal akan dilakukan dalam jangka waktu maksimum 14 hari sejak keputusan pembentukan satuan tugas.
Dalam upaya menindaklanjuti temuan ini, KPPU akan melakukan penyelidikan awal perkara untuk memperjelas identitas Terlapor, pasar yang terkait, potensi pasal Undang-Undang yang mungkin dilanggar, validitas alat bukti yang ada, serta apakah ada dasar yang cukup untuk melanjutkan ke tahap penyelidikan lebih lanjut.(*)