Ulama Perempuan Lampung Ikut Deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
Eva Pardiana - Jumat, 16 Mei 2025 14:21
BANDAR LAMPUNG – Para ulama perempuan termasuk dari Lampung akan menyelenggarakan Deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia. Mereka memiliki semangat yang sama membangkitkan bangsa melalui ilmu dan pengabdian.
Kegiatan itu dilaksanakan sebagai respons terhadap gelombang krisis sosial dan moral yang menghimpit bangsa, seperti maraknya kekerasan terhadap perempuan, masifnya judi online, pinjaman digital yang mencekik rakyat kecil, perdagangan orang yang semakin meluas, rusaknya demokrasi, tumpulnya keadilan hukum, serta krisis kemanusiaan global di berbagai belahan dunia, terutama di Palestina.
Atas dasar itulah, Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menggelar Deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia. Inisiatif ini merupakan bentuk komitmen spiritual dan sosial untuk menyalakan kembali cahaya keulamaan perempuan yang berpihak pada kehidupan, keadilan, dan keselamatan semesta.
Salah seorang ulama perempuan dari Lampung yang ikut dalam deklarasi, Nyai Hj. Siti Mahmudah, mengatakan, melalui gerakan ini, kebangkitan ulama perempuan tidak hanya menjadi narasi sejarah, tetapi menjadi cahaya harapan untuk keadilan, perdamaian, dan keberlanjutan masa depan bangsa.
"Gerakan ini menegaskan bahwa kiprah ulama perempuan bukan hanya bagian dari sejarah, melainkan fondasi penting bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang adil, damai, dan berkelanjutan," kata Nyai Hj. Siti Mahmudah yang juga dosen UIN Raden Intan tersebut, Jumat (16/5/2025).
Nama-nama seperti Syarifah Mudaim, Nyai Mas Gandasari, dan Ratu Subanglarang dari Cirebon menjadi contoh nyata dari warisan keulamaan perempuan yang perlu terus digali, dinarasikan, dan dihidupkan. KUPI mendorong seluruh komunitas, lembaga, dan individu di seluruh Indonesia untuk mendokumentasikan para alimah, nyai, guru ngaji, dan penggerak dakwah di wilayah mereka sebagai bagian dari upaya merajut kembali silsilah keulamaan perempuan.
Nyai Hj. Siti Mahmudah menambahkan, melalui upaya kolektif ini, pihaknya menghadirkan kembali silsilah keulamaan perempuan dalam ingatan publik, memperkuat akar spiritual dan sosial umat, serta menyambung mata rantai keilmuan Islam dari generasi ke generasi.
Dengan cara ini, Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia bukan hanya menjadi milik Cirebon atau pusat-pusat kajian Islam, tetapi benar-benar menjadi milik seluruh rakyat dan komunitas dari Sabang sampai Merauke, sebuah gerakan kultural tahunan yang menyala dari bawah, mengokohkan bahwa kebangkitan ulama dan guru perempuan adalah cahaya bagi keadilan umat, kemuliaan bangsa, perdamaian dunia, dan keberlanjutan semesta.
Deklarasi perdana ini akan diselenggarakan pada Ahad, 18 Mei 2025, pukul 08.00–12.00 WIB, bertempat di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon—tepat di samping maqbarah Syekh Dzatul Kahfi dan berseberangan dengan kompleks ziarah Sunan Gunung Jati. Kegiatan ini akan dihadiri oleh Jaringan Ulama Perempuan Indonesia dari berbagai wilayah: Cirebon Raya (Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan), serta utusan dari Provinsi Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Rangkaian acara meliputi khataman Al-Qur’an, pembacaan sholawat, doa bersama, puisi spiritualitas, pidato keulamaan, napak tilas ke maqbarah tokoh-tokoh leluhur, pembacaan pernyataan sikap, dan ditutup dengan komitmen kerja praksis sosial, berupa penandatanganan kerjasama penguatan koperasi pesantren.
Acara ini akan menghadirkan sejumlah tokoh nasional, antara lain: Pidato keulamaan oleh Ibu Nyai Hj. Alissa Wahid (Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian); Doa bersama dipimpin oleh KH. Husein Muhammad dan Ibu Nyai Hj. Siti Mahmudah; Puisi spiritualitas dibacakan oleh Ibu Nyai Hj. Masriya Amva dan Ibu Hj. Rieke Diah Pitaloka; dan Penandatanganan kerjasama praksis sosial bersama Kementerian Koperasi dan jaringan pesantren, yang dikoordinasikan oleh Ibu Nyai Hj. Masruchah.
Acara ini terselenggara atas kerjasama KUPI dengan Majlis Dzikir Pikir Puser Bumi Cirebon, dan bersifat terbatas, hanya untuk tamu undangan, mengingat keterbatasan kapasitas tempat. Namun, acara ini akan disiarkan secara live streaming melalui kanal daring resmi KUPI dan dapat diikuti oleh publik secara luas. Komunitas dari lima lembaga penyangga KUPI, yakni Fahmina, Rahima, Alimat, Gusdurian, dan Aman Indonesia didorong untuk menyelenggarakan nonton bareng (nobar) secara berjamaah di wilayah masing-masing, serta menghidupkan semangat deklarasi ini melalui kegiatan lokal di komunitas mereka.
Deklarasi ini baik secara offline maupun online merupakan ajakan kepada seluruh komponen bangsa, khususnya para pecinta ilmu dan pengabdi kemanusiaan yang pernah berguru atau terinspirasi dari sosok perempuan, untuk menjadikan Bulan Mei sebagai gerakan kultural tahunan: Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia.
Setiap komunitas, lembaga, maupun individu di seluruh Indonesia didorong untuk menyelenggarakan kegiatan lokal—seperti doa bersama, tawassul, pembacaan puisi, diskusi, atau aksi sosial yang menghidupkan kembali warisan ilmu, dakwah, pengabdian, dan keberpihakan ulama perempuan di lingkungan masing-masing. Gerakan ini bertujuan memperkuat memori kolektif umat terhadap kiprah dan peran para guru dan alimah yang kerap tak tercatat dalam sejarah resmi, namun berpengaruh besar dalam membentuk kesalehan sosial dan spiritual masyarakat.
Untuk itu, komunitas-komunitas baik yang tergabung dalam jaringan KUPI maupun masyarakat luas didorong untuk mendokumentasikan dan menarasikan nama-nama ulama perempuan di wilayahnya, baik nyai pesantren, ustadzah, guru ngaji, penggerak dakwah, pendidik, maupun pelopor pemberdayaan umat.
Sebagai contoh, nama-nama seperti Syarifah Mudaim, Syarifah Fathimah al-Baghdadi, Nyai Mas Gandasari, dan Ratu Subanglarang adalah jejak ulama perempuan dari wilayah Cirebon, yang membuktikan betapa kaya warisan lokal yang selama ini tersembunyi. Dari berbagai daerah lainnya, tentu akan muncul lebih banyak lagi sosok-sosok mulia yang tak kalah menginspirasi—yang lahir dari konteks sejarah, budaya, dan perjuangan masyarakatnya masing-masing.
Melalui upaya kolektif ini, kita menghadirkan kembali silsilah keulamaan perempuan dalam ingatan publik, memperkuat akar spiritual dan sosial umat, serta menyambung mata rantai keilmuan Islam dari generasi ke generasi.
Dengan cara ini, Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia bukan hanya menjadi milik Cirebon atau pusat-pusat kajian Islam, tetapi benar-benar menjadi milik seluruh rakyat dan komunitas dari Sabang sampai Merauke, sebuah gerakan kultural tahunan yang menyala dari bawah, mengokohkan bahwa kebangkitan ulama dan guru perempuan adalah cahaya bagi keadilan umat, kemuliaan bangsa, perdamaian dunia, dan keberlanjutan semesta. (*)