Simak Outlook Ekonomi Digital 2023: Tantangan untuk Fintech, Bitcoin hingga E-commerce

Yunike Purnama - Selasa, 10 Januari 2023 05:47
Simak Outlook Ekonomi Digital 2023: Tantangan untuk Fintech, Bitcoin hingga E-commerceIlustrasi industri E-commerce (sumber: Grafis TrenAsia/Deva Satria )

BANDAR LAMPUNG - Memasuki 2023, ekonomi digital di Indonesia masih akan menjumpai beragam tantangan sekaligus potensi, seperti halving day aset kripto Bitcoin, beragam variabel yang akan menjadi tren e-commerce, hingga tantangan bagi industri fintech untuk bertumbuh dan berkembang.

Walau demikian, ekonomi digital diprediksi tetap akan tumbuh karena digitalisasi yang masih terus didorong oleh berbagai pihak.

Dalam kaitannya dengan ekonomi, digitalisasi menjadi salah satu kendaraan untuk mencapai inklusi keuangan sehingga ekonomi digital pun masih menjadi sektor yang cukup menjanjikan di tahun ini.

Berikut ini TrenAsia.com jaringan Kabarsiger.com merangkum beberapa outlook yang berkaitan dengan ekonomi digital di tahun 2023:

Tren Penurunan Harga Bitcoin Memasuki Fase Jenuh

Setelah diterpa badai sentimen negatif sepanjang tahun 2022, Bitcoin dan aset-aset kripto berkapitalisasi pasar terbesar lainnya diprediksi akan memulih pada tahun 2023.

Chief Executive Officer (CEO) Indodax Oscar Darmawan mengatakan bahwa tren penurunan harga pada Bitcoin, aset kripto yang kerap menjadi acuan bagi pasar, berpotensi untuk memasuki fase jenuh pada 2023.

Fase jenuh itu kemudian akan diikuti oleh pemulihan dalam rangka menyambut halving day pada tahun 2024. Halving day adalah pengurangan pasokan Bitcoin sebanyak setengah di penambangan atau mining yang terjadi setiap empat tahun sekali.

Dengan halving day ini, harga Bitcoin bisa mengalami kenaikan karena adanya pemangkasan suplai sehingga permintaan pun meningkat.

"Biasanya di tahun 2023 ini akan ada penyesuaian harga menuju Bitcoin Halving berikutnya, " ujar Oscar dikutip dari keterangan tertulis beberapa waktu lalu.

Dengan adanya potensi bullrun pada momentum halving day pada tahun 2024, Oscar pun menyampaikan bahwa waktu yang tepat untuk mengakumulasi aset-aset kripto big cap adalah pada tahun 2023.

Apabila Bitcoin sebagai acuan pasar mengalami pemulihan, kemungkinan besar aset-aset kripto lainnya akan ikut terkerek naik.

Bursa Kripto Ditargetkan Meluncur

Sejalan dengan proses transisi peralihan kewenangan dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk pengawasan perdagangan aset kripto, bursa kripto dikabarkan akan meluncur tahun ini.

Sebenarnya, bursa kripto ini sebelumnya ditargetkan untuk diluncurkan pada 2022. Akan tetapi, Bappebti menemui kesulitan untuk mematangkan proyek bursa ini karena belum adanya negara yang bisa dijadikan sebagai acuan.

Plt Bappebti Didid Noordiatmoko mengatakan, bursa kripto harus dibentuk tahun ini sebagai bagian dari reformasi keuangan lewat pengesahan Undang-Undang Pembinaan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) pada 15 Desember 2022.

Ia juga menjelaskan, pihaknya ingin memastikan ekosistem bursa kripto bisa berjalan dengan baik sehingga Bappebti terus berupaya untuk memastikan semua hal yang terkait dengan bursa, kustodian, dan kliring dapat memenuhi kriteria yang baik.

Industri Fintech Lending Diperkirakan Tetap Tumbuh Positif Walaupun Melambat

Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc) Hendri Saparini mengemukakan bahwa industri fintech lending diprediksi akan tetap tumbuh positif pada tahun 2023.

Kendati demikian, Hendri pun tidak menampik bahwa industri fintech lending tetap akan terkena imbas dari perlambatan ekonomi global di tahun ini.

"Mendung mungkin iya, tapi hujan deras itu belum akan terjadi sehingga kita akan cukup optimis untuk tahun 2023, termasuk juga untuk industri fintech," ujar Hendri dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 Fintech dan Ekonomi Digital beberapa waktu lalu.

Keyakinan IFSoc akan performa investasi di industri fintech lending dilatarbelakangi oleh kinerja yang cukup baik pada investasi portofolio asing (foreign portofolio investment/FPI) dan investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).

Hendri pun menyampaikan, sepanjang tahun 2022, ketidakpastian ekonomi global telah membuat para investor global lebih selektif dalam mendanai start up, termasuk yang bergerak di bidang fintech.

Walaupun pendanaan menyurut dan memicu penyesuaian operasional yang pada umumnya berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK), namun di sisi lain kondisi tersebut dinilai IFSoc mengandung dampak yang positif.

Dengan banyaknya perusahaan rintisan yang melakukan adaptasi dengan mengefisiensikan pengeluaran dan mengutamakan profitabilitas ketimbang pertumbuhan, iklim persaingan start up pun nantinya diprediksi dapat lebih sehat.

"Apa yang terjadi saat ini (pendanaan menyurut) justru bagus karena secara domestik, ini akan mendorong adanya perubahan arah dari investasi yang ada di start up Indonesia," kata Hendri.

Meskipun nilai pendanaan startup fintech di Indonesia meningkat 8,4% pada tahun 2022, akan tetapi jumlah deals menurun 28% (UOB, 2022).

Kondisi inflasi dan ekonomi global mendorong investor menjadi lebih selektif dalam mendanai start up, dengan fokus pada profitabilitas dibandingkan pertumbuhan.

Kondisi ini mendorong banyak start up untuk melakukan efisiensi dan optimisasi biaya dalam mempersiapkan cash flow.

Namun, menurut Hendri, kondisi ini tidak bisa sepenuhnya dipandang negatif. Pasalnya, fenomena ini merupakan siklus yang berdampak transformatif pada ekosistem perusahaan rintisan di Indonesia.

Industri fintech lending optimis di tahun 2023 dengan penyaluran kredit yang mencapai Rp476,89 triliun per Oktober 2022.

Hingga Oktober 2022, industri fintech lending yang berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan tergabung dalam keanggotaan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah menyalurkan pinjaman kepada sekitar 93,39 juta pengguna.

Rekening peminjam (borrower) tercatat sebanyak 92,40 juta dengan rekening aktif sebanyak 18,71, sedangkan rekening pemberi pinjaman (lender) mencapai 980.370 dengan rekening aktif sebanyak 151.240.

Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan bahwa capaian ini menjadi indikasi bahwa peran industri fintech lending sudah semakin mengakar di kalangan masyarakat.

Dengan capaian ini, industri pun semakin optimis untuk menghadapi tahun 2023 yang disebut-sebut akan menjadi masa suram bagi perekonomian global.

Menurut Sunu, tahun 2023 akan menjadi momen yang penuh dengan tantangan bagi semua pelaku bisnis karena ancaman resesi.

Namun, pemerintah dalam berbagai kesempatan telah menyatakan bahwa Indonesia akan lebih tahan banting dalam menghadapi ancaman ini sehingga pelaku bisnis, termasuk di industri fintech lending, tetap optimis untuk menghadapi tahun depan.

"Di balik tantangan tersebut, ada potensi yang dapat dimanfaatkan industri fintech, termasuk peer-to-peer (P2P) lending, yakni ekonomi digital di Indonesia per 2022 mencapai US$77 miliar (Rp1,2 kuadriliun dalam asumsi kurs Rp15.594 perdolar Amerika Serikat/AS), dan diperkirakan memiliki prospek mencapai US$130 miliar (Rp2,02 kuadriliun), dan US$220-360 miliar (Rp3,43-Rp5,6 kuadriliun) pada 2030," ujar Tris.

Tantangan dan Pilar Penguat Industri Fintech di Tahun 2023

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta mengatakan setidaknya ada enam tantangan yang harus diatasi oleh industri fintech dalam menghadapi tahun 2023.

Enam tantangan yang harus dihadapi industri fintech sepanjang tahun 2023, yaitu:

1. Manajemen risiko dan tata kelola.

2. Keandalan sistem dan credit scoring.

3. Pengembangan produk/model bisnis.

4. Hadirnya Undang-undang (UU) perlindungan data pribadi.

5. Eksplorasi ekosistem.

6. Keamanan siber.

Kemudian, Tris pun menyampaikan pula mengenai tiga pilar yang dapat menjadikan industri fintech lending lebih tumbuh secara berkualitas.

“Oleh karena itu, ada tiga pilar untuk menjadikan industri P2P lending tumbuh berkualitas, sehat, dan berkontribusi signifikan pada perekonomian nasional, yakni penguatan kepada penyelenggara P2P lending sendiri, penguatan kepada lembaga profesi dan asosiasi, serta penguatan di internal OJK yang sedang dilakukan,” kata Tris.

Kolaborasi Fintech dan Perbankan Masih Terbuka

Steering Committee IFSoc Dyah N.K. Makhijani mengungkapkan bahwa potensi kolaborasi antara industri perbankan dan fintech masih cukup terbuka pada tahun 2023.

Dyah mengatakan, perkembangan tersebut turut didorong oleh ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) yang mewajibkan pemenuhan RPIM minimal 20% pada tahun 2022 untuk industri perbankan.

Peraturan OJK yang dimaksud oleh Dyah dalam hal ini adalah POJK 22/2022 tentang Kegiatan Penyertaan Modal oleh Bank Umum yang mengatur keleluasaan bank umum untuk melakukan penyertaan modal pada perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan.

Perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan dalam konteks POJK ini mencakup (1) perusahaan berupa lembaga jasa keuangan, (2) perusahaan yang memanfaatkan penggunaan teknologi informasi untuk menghasilkan produk keuangan sebagai bisnis utama, serta (3) lembaga pengelola informasi perkreditan.

Dyah menambahkan, dari 18,7 juta penerima kredit dari industri fintech lending, sekitar 4,5 juta di antaranya adalah pelaku UMKM.

Dengan demikian, kolaborasi perbankan dengan fintech lending pada gilirannya dapat mendorong inklusi keuangan bagi UMKM yang menjadi salah satu penopang ekonomi negara.

Kolaborasi ini pun sesuai dengan upaya bank untuk memenuhi kewajiban penyaluran pembiayaan untuk UMKM minimal 20% sepanjang tahun 2022 dan 25% untuk 2023.

3 Tren e-Commerce pada 2023

Anggota Dewan Forbes Chemi Katz memaparkan adanya dua tren utama di industri e-commerce pada 2023.

Tren yang pertama, loyalitas akan menjadi lebih penting ketimbang akuisisi pengguna baru. Katz mengatakan, biaya untuk akuisisi pengguna baru terus menunjukkan tren kenaikan dalam rentang waktu 2013-2022 dengan peningkatan yang mencapai 222%.

Sementara itu, para pengguna platform e-commerce menunjukkan pola bahwa mereka lebih banyak menghabiskan waktu di platform-platform yang mereka percaya ketimbang melirik platform lain.

“Loyalitas pengguna saat ini lebih penting dari apapun. Kita akan melihat fokus yang lebih besar dalam hal ini pada 2023 seiring dengan upaya para pelaku usaha untuk memulihkan pendapatan mereka,” ujar Katz dikutip dari Forbes, Senin, 9 Januari 2023.

Kemudian, tren yang kedua adalah konsep social commerce yang diperkirakan akan semakin marak seiring dengan perkembangan media sosial yang semakin pesat.

“Selain menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial, konsumen saat ini sudah menggunakannya untuk berbagai hal baru. Gen-Z saat ini bahkan menggunakan TikTok untuk mencari jawaban yang sebelumnya biasa mereka cari di Google,” kata Katz.

Sementara itu, VP of Brand & Comms Brightpearl, Mark Hook, menambahkan bahwa strategi keberlanjutan menjadi salah satu faktor yang perlu dicermati oleh pelaku industri e-commerce.

Keberlanjutan menjadi salah satu topik yang ramai dibicarakan dewasa ini. Pada tahun 2023, para konsumen, khususnya dari kalangan anak muda, diperkirakan akan semakin berpikir kritis terhadap produk-produk yang mereka beli di marketplace.

“Pelanggan modern semakin sadar akan aspek keberlanjutan dari produk yang mereka konsumsi. Keberlanjutan akan memainkan peran penting di pasar, dan dengan lebih banyak konsumen yang merangkul ekonomi hijau, merek pun harus mengikuti dan menjadikannya prioritas strategis di tahun 2023,” kata Hook. (*)

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 09 Jan 2023

Editor: Redaksi
Yunike Purnama

Yunike Purnama

Lihat semua artikel

RELATED NEWS