Selokan Mataram Cara Sultan HB X 'Merdekakan' Rakyat dari Romusha
Ties - Senin, 03 Mei 2021 13:45PEMBANGUNAN Selokan Mataram pada masa penjajahan Jepang tahun 1944 merupakan wujud nyata seorang raja dalam menyelamatkan sekaligus menyejahterakan rakyatnya.
Raja Mataram Islam yang bertakhta saat itu, Sri Sultan HB IX selain berhasil membujuk Jepang untuk membangun saluran irigasi agar dapat mengaliri areal pertanian dan daerah tandus untuk meningkatkan hasil panen, juga membebaskan rakyat Yogyakarta dari kerja paksa (Romusha).
Menurut buku ‘Takhta Untuk Rakyat, Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX’ yang dihimpun oleh Mohamad Roem dan kawan-kawan, Sultan berdiplomasi dengan pihak Jepang agar diberi bantuan dana untuk membangun saluran irigasi dengan alasan agar Yogyakarta dapat menyumbang hasil bumi lebih banyak.
Tak disangka, diplomasi berhasil dan pemerintah Jepang memberikan dana pembangunam saluran dan pintu air untuk mengatur air hujan yang mengenang terutama di daerah Adikarto (Kulonprogo) bagian selatan serta untuk membangun saluran-saluran air yang mengalirkan air dari Kali Progo ke daerah Sleman ke timur.
Saluran dan pintu air itu dikenal dengan sebutan Selokan Mataram, dalam bahasa Jepang disebut Gunsei Hasuiro dan Gunsei Yosuiro. Saluran yang panjangnya sekitar 30,8 kilometer dapat mengairi areal pertanian seluas 15.734 hektar.
Pembangunan proyek juga dilengkapi dengan berbagai bangunan pendukung misalnya bendungan, tanggul dan jembatan. Sehingga memakan waktu dan membutuhkan banyak orang dalam pengerjaannya. Hal itulah panendkemudian dimanfaatkan oleh Sultan sebagai alasan menolak ribuan warga Yogyakarta dari panggilan menjadi Romusha oleh pemerintah Jepang.
Sebelum dilakukan diplomasi ide pembuatan saluran irigasi, Sultan sangat pandai ‘mengelabuhi’ Jepang dengan menyembunyikan angka-angka statistik baik yang menyangkut jumlah penduduk, hasil panen dan hasil ternak. Dengan begitu Jepang tidak bisa mendapatkan hasil bumi sebanyak yang mereka inginkan.
Sultan menyakinkan Jepang bahwa daerah Yogyakarta terlalu sempit sehingga tanah yang ditanami hanya menghasilkan sedikit hasil bumi. Itulah awal dikabulkannya keinginan Sultan.
Diplomasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX membuahkan hasil positif. Jepang menyetujui pembangunan kanal untuk sarana pengairan yang pada zaman kolonial Jepang dikenal dengan nama Kanal Yoshiro, dan kini dikenal dengan nama Selokan Mataram. Hal ini dapat mengurangi penderitaan dan korban jiwa pada para pekerja romusha dan memberi manfaat untuk wilayah Yogyakarta, khususnya di bidang pertanian. Selokan Mataram kemudian dibangun pada masa penjajah Jepang tahun 1944 dengan panjang selokan sepanjang 30,8 km dari Ancol hingga Kalasan serta mengairi areal pertanian seluas 15.734 ha, pada waktu itu.
Namun seiring perkembangan zaman, Selokan Mataram tidak hanya dipakai sebagai saluran irigasi bagi pertanian. Chandra Bagus Wijayanto dalam skripsinya yang berjudul Studi Ekonomi Politik di Selokan Mataram pada Tahun 2018 meneliti, bahwa Selokan Mataram digunakan untuk berbagai hal antara lain sebagai tempat edukasi, sebagai tempat mandi dan mencuci bagi sebagian masyarakat di sekitar Selokan. Selain itu, selokan juga dimanfaatkan dan dibangun gardu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), salah satunya yang terletak di desa Bligo, kecamatan Ngluwar, kabupaten Magelang, dan mampu memberikan suplay listrik bagi sebagian masyarakat di sekitar Selokan Mataram, khususnya di desa Bligo. Adapun kendala yang dihadapi adalah sampah serta limbah di Selokan Mataram.
Alami Pencemaran
Pipin Kusumawati dkk. dalam penelitiannya yang berjudul Potensi Selokan Mataram: Ulasan Keadaan Fisik dan Kualitas Airnya meneliti Kualitas air juga menunjukkan bahwa air Selokan Mataram mengalami pencemaran, baik fisik dan mikrobiologi yang berasal dari limbah manusia.
Keadaan kualitas air yang rendah ini kemungkinan dipicu oleh keadaan musim penghujan ketika penelitian ini berlangsung sehingga menimbulkan bias terhadap hasil uji kualitas airnya. Dengan demikian perlu kiranya dilakukan penelitian kualitas air Selokan Mataram pada musim kemarau untuk mengetahui kualitas air Selokan Mataram yang sebenarnya sehingga dapat dinilai kelayakannya untuk dibukanya suatu destinasi wisata tirta. (*)