Peran Penting Pers Upaya Pencegahan Paham Radikalisme dan Terorisme
Yunike Purnama - Kamis, 21 Desember 2023 14:04BANDARLAMPUNG - Dewan Pers bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memperkuat pemahaman insan pers di Lampung terkait pedoman tata cara penulisan pemberitaan terorisme.
Workshop yang mengangkat tema 'Peran Pers dalam Pencegahan Pahan Radikalisne dan Terorisme untuk Mewujudkan Indonesia Harmoni' dimoderatori langsung Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Lampung Iskandar Zulkarnain berlangsung di Novotel Lampung pada Rabu, 21 Desember 2023.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo memaparkan, perlu dipahami pemberitaan aksi teror yang dramatis sama halnya menyebarkan pesan teror sang teroris. Tanpa disadari pemberitaan yang tidak sesuai pedoman, justru menjadi akses para oknum teroris melancarkan pesan terornya.
Kemudian upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme tidak hanya dilakukan oleh aparat TNI, Polri, dan masyarakat, tetapi juga media dan para jurnalis melalui tulisan dan peliputannya.
"Maka diperlukan wawasan para jurnalis bagaimana cara meliput yang benar, mengumpulkan fakta, siapa saja yang diwawancara, laporan seperti apa yang ditulis dan disiarkan dan pesan apa yang ditangkap publik,"papar Stanley sapaannya.
- IOH Optimalkan Kapasitas Jaringan dan Layanan Jelang Nataru 2024
- Puluhan Siswa MA Nurul Iman Sekincau Kunjungan Industri ke IIB Darmajaya
- Sehari Dibuka, Damri Jual hingga 63.908 Tiket Nataru
- Kemenkeu Gelontorkan Dana Pemilu Rp18,8 Triliun hingga Oktober 2023
Dalam penugasannya wartawan harus mengacu pada pedoman yang telah dikeluarkan oleh Dewan Pers dalam meliput kasus-kasus terorisme. Indonesia pada 9 April 2015 telah memiliki 13 Butir Paduan meliput terorisme.
Berikut adalah pedoman peliputan terorisme yang diterbitkan oleh Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IV/2015 tentang Pedoman Peliputan Terorisme:
1. Wartawan selalu menempatkan keselamatan jiwa sebagai prioritas di atas kepentingan berita. Saat meliput sebuah peristiwa terkait aksi terorisme yang dapat mengancam jiwa dan raga, wartawan harus membekali diri dengan peralatan untuk melindungi jiwanya.
2. Wartawan selalu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan jurnalistik. Wartawan yang mengetahui dan menduga sebuah rencana tindak terorisme wajib melaporkan kepada aparat dan tidak bolehmenyembunyikan informasi itu dengan alasan untuk mendapatkan liputan eksklusif. Wartawan bekerja untuk kepentingan publik sehingga keselamatan nyawa warga masyarakat harus ditempatkan di atas kepentingan berita.
3. Wartawan harus menghindari pemberitaan yang berpotensi mempromosikan dan memberikan legitimasi maupun glorifikasi terhadap tindakan terorisme maupun pelaku terorisme. Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terhadap kemanusiaan.
4. Wartawan dan media penyiaran dalam membuat siaran langsung (live) tidak melaporkan secara terinci/ detail peristiwa pengepungan dan upaya aparat dalam melumpuhkan para tersangka terorisme. Siaran secara langsung dapat memberikan informasi kepada para terduga teroris mengenai posisi dan lokasi aparat keamanan secara real time dan hal ini bisa membahayakan keselamatan anggota aparat yang sedang berupaya melumpuhkan para teroris.
5. Wartawan dalam menulis atau menyiarkan berita terorisme harus berhati-hati agar tidak memberikan atribusi, gambaran, atau stigma yang tidak relevan, misalnya dengan menyebut agama yang dianut atau kelompok etnis si pelaku. Kejahatan terorime adalah kejahatan individu atau kelompok yang tidak terkait dengan agama ataupun etnis.
6. Wartawan harus selalu menyebutkan kata ”terduga” terhadap orang yang ditangkap oleh aparat keamanan karena tidak semua orang yang ditangkap oleh aparat secara otomatis adalah pelaku tindak terorisme. Untuk menjunjung asas praduga tidak bersalah (presumption of innocense) dan menghindari pengadilan oleh pers (trial by the press) wartawan perlu mempertimbangkan penggunaan istilah “terperiksa” untuk mereka yang sedang diselidiki atau disidik oleh polisi, “terdakwa” untuk mereka yang sedang diadili, dan istilah “terpidana” untuk orang yang perkaranya telah diputus oleh pengadilan.
7. Wartawan wajib menghindari mengungkap rincian modus operandi tindak pidana terorisme seperti cara merakit bom, komposisi bahan bom, atau teknik memilih sasaran dan lokasi yang dapat memberi inspirasi dan memberi pengetahuan bagi para pelaku baru tindak terorisme.
8. Wartawan tidak menyiarkan foto atau adegan korban terorisme yang berpotensi menimbulkan kengerian dan pengalaman traumatik. Pemuatan foto atau adegan hanya diperbolehkan bila bertujuan untuk menyampaikan pesan kemanusiaan bahwa terorisme selalu menyasar sasaran umum dan menelan korban jiwa.
9. Wartawan wajib menghindari peliputan keluarga terduga teroris untuk mencegah diskriminasi dan pengucilan oleh masyarakat, kecuali dimaksudkan untuk menghentikan tindakan diskriminasi yang ada dan mendorong agar ada perhatian khusus misalnya terhadap penelantaran anak-anak terduga teroris yang bila dibiarkan akan berpotensi tumbuh menjadi teroris baru.
10. Terkait dengan kasus-kasus yang dapat menimbulkan rasa duka dan kejutan yang menimpa seseorang, pertanyaan dan pendekatan yang dilakukan untuk merekonstruksi kejadian dengan menemui korban keluarga korban maupun keluarga pelaku harus dilakukan secara simpatik dan bijak.
11. Wartawan dalam memilih pengamat sebagai narasumber wajib selalu memperhatikan kredibilitas, kapabilitas dan kompetensi terkait latar belakang, pengetahuan, dan pengalaman narasumber yang relevan dengan halhal yang akan memperjelas dan memberikan gambaran yang utuh terhadap fakta yang diberitakan.
12. Dalam hal wartawan menerima undangan meliput sebuah tindakan aksi terorisme, wartawan perlu memikirkan ulang untuk melakukannya. Kalau undangan terkait dengan rencana aksi pengeboman atau aksi bom bunuh diri sebaiknya wartawan tak perlu memenuhinya, karena hal itu dapat dipandang sebagai cara memperkuat pesan teroris dan mengindikasikan ada kerja sama dalam sebuah tindakan kejahatan. Wartawan menyampaikan rencana tindak/aksi terorisme kepada aparat hukum.
13. Wartawan wajib selalu melakukan check dan rechek terhadap semua berita tentang rencana maupun tindakan dan aksi terorisme ataupun penanganan aparat hukum terhadap jaringan terorisme untuk mengetahui apakah berita yang ada hanya sebuah isu atau hanya sebuah balon isu (hoax) yang sengaja dibuat untuk menciptakan kecemasan dan kepanikan. Penilaian akhir atas sengketa mengenai pelaksanaan Pedoman Peliputan terorisme ini diselesaikan oleh Dewan Pers.
Kenali Motif Tindakan Terorisme
Kasi Pengawasan Barang BNPT Faizal Yan Aulia menambahkan, dari data yang dihimpun BNPT kebanyakan motif oknum melakukan terorisme antara lain adanya ideologi agama yang salah, solidaritas komunal, mob mentaly, balas dendam, situasional, separatisme.
"Kemudian dari segi gender yang paling rentan terpapar terorisme justru dari perempuan yang pada akhirnya mendoktrin keluarganya, khususnya ke suaminya untuk ikut melakukan tindakan terorisme,"jelasnya.
Peran Pemerintah Mencegah Terorisme dan Radikalisme
Faizal melanjutkan, peran pemerintah dalam upaya pencegahan terorisme dan radikalisme yang dilakukan BNPT berkerjasama dengan stakeholder dengan membentuk FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme).
Kemudian, BNPT turut rutin menggelar pelatihan dan pembentukan Duta Damai dunia maya sejak tahun 2016.
"Adapun tujuan dibentuknya Duta Damai antara lain agen perdamaian, wadah menyuarakan perdamaian dengan cara lebih kreatif, peningkatan partisipasi generasi muda mencegah terorisme dengan memanfaatkan teknologi,"paparnya.
Total regional Duta Damai tersebar di 17 provinsi debgan jumlah 610 orang se Indonesia. Untuk di Lampung sudah terbentuk sejak tahun 2021. (*)