Pakar UI: Penyebab Tanah Abang Sepi Tak Hanya Karena Digitalisasi
Yunike Purnama - Kamis, 21 September 2023 21:35JAKARTA - Viralnya video Tanah Abang yang sepi beberapa waktu lalu di platform sosial media di Indonesia disebut karena adanya digitalisasi yang cenderung mengarah menyalahkan adanya TikTok Shop sebagai e-commerce baru atau sekarang banyak disebut sebagai social commerce (s-commerce).
Bahkan karena hal tersebut, pemerintah melalui Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan akan membuat pengaturan penjualan di social commerce merupakan bentuk perlindungan kepada produk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Namun, pakar Ekonomi Digital Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Ibrahim Kholilul Rohman, Ph.D., menyampaikan masalah tersebut tidak hanya masalah digitalisasi namun lebih kompleks daripada itu.
- 'Si Gajah Lampung' Akan Hadir pada Pekan Raya Lampung 2023
- Hasil ICIUOG 2023: Ada 16 Perjanjian Senilai Rp73,2 Triliun
- Keluarga Meninggal Usai Disesatkan Fitur Google Map
- Pergeseran Strategi Bisnis Huawei Fokus pada AI
“Platform digital umumnya memiliki kemampuan untuk menciptakan lock-in. Kondisi ini ditandai dengan ketergantungan baik pembeli dan penjual terhadap platform sehingga mereka tidak bisa keluar dari platform tersebut. Secara unilateral, platform bisa melakukan filtrasi jenis komoditas apa yang menjadi trending dalam platform sehingga inilah yang saat ini terjadi di TikTok Shop. Barang-barang dari China, seperti skincare akan selalu di-up sehingga menjadi barang yang paling laku dengan exposure yang tinggi,” ujar Ibrahim melansir dari situs resmi UI.
Ibrahim menyatakan bahwa platform seperti TikTok memiliki kemampuan untuk menerapkan pseudo ban, yaitu melarang produk tertentu tanpa secara resmi mengumumkannya, dengan tujuan mencegah produk-produk yang tidak disukai pengguna platform mendapatkan eksposur yang besar.
Namun selain itu, faktor yang juga berpengaruh pada menurunnya aktivitas jual beli ini disebabkan oleh aspek demand (permintaan) dan aspek supply (penawaran) yang bekerja secara bersama-sama.
Dari sisi demand, Ibrahim mencatat bahwa proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan. Menurut Ibrahim, penurunan daya beli konsumen dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk dampak pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, sehingga perekonomian di kalangan masyarakat belum benar-benar pulih.
Sementara itu, dari sisi supply masuknya barang-barang impor, terutama dari China, dengan harga yang lebih murah melalui platform digital, telah membuat produk yang dijual secara langsung di pasar atau toko fisik menjadi kurang kompetitif dalam hal harga. Padahal, masyarakat Indonesia memiliki pola permintaan yang sensitif terhadap harga, yang berarti perubahan kecil dalam harga dapat mengakibatkan perubahan besar dalam jumlah barang yang diminta.
Lebih Menarik
Platform penjualan online menjadi lebih menarik bagi konsumen karena ketersediaannya yang mudah dan harga yang lebih terjangkau. Selain itu, platform tersebut didukung oleh berbagai layanan keuangan digital seperti digital wallet, digital banking, fintech, peer-to-peer (P2P) lending, bahkan paylater yang memudahkan konsumen dalam bertransaksi bahkan ketika memiliki keterbatasan anggaran.
Lebih lanjut Ibrahim menyampaikan, platform digital umumnya memiliki network effect yang sangat besar. Dengan jumlah pengguna yang besar, platform dapat menyediakan produk yang disesuaikan dengan preferensi individu sehingga konsumen dapat mendapatkan produk yang sesuai dengan keinginan mereka dan sesuai dengan kemampuan finansial mereka.
Selain itu, serbuan produk impor terutama yang berasal dari China dengan harga yang sangat kompetitif juga merupakan tantangan tersendiri. Oleh karenanya, Ibrahim menyarankan para pedagang sebaiknya menjajaki peluang untuk mengalihkan penjualan mereka ke produk-produk non-mass production yang lebih mudah dapat digantikan oleh barang-barang impor yang memiliki harga yang lebih terjangkau dari luar negeri.
Untuk menghadapi masalah tersebut Ibrahim menyebutkan perlu adanya mitigasi dari pemerintah yang sifatnya regulatory impact assessment, seperti anticompetitive conduct yang dilakukan platform kepada produk-produk lokal.
“Selain itu, platform secara unilateral juga bisa melakukan vertical integration dengan preferred logistics pengantaran dan payment-praktik yang sebenarnya juga dilarang oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Platform juga harus melakukan net-neutrality dimana setiap produk diberikan akses yang sama untuk di-up,” sebut Ibrahim.
Ibrahim juga mengungkapkan bahwa tanpa adanya tindakan sistematis dari pemerintah, digital platform yang seharusnya mendukung pemberdayaan dan perkembangan produk lokal dapat mengakibatkan secara perlahan produk-produk domestik menjadi terpinggirkan.(*)