Dahlan Iskan Puji Strategi Erick Ganti Garuda Indonesia dengan Pelita Air
Eva Pardiana - Rabu, 27 Oktober 2021 23:29JAKARTA – Wacara mengganti maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) dengan PT Pelita Air Services lantaran berada di ambang kebangkrutan akibat beban utang yang menggunung kian mengemuka.
Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengatakan solusi yang diberikan Kementerian BUMN untuk menggantikan Garuda Indonesia dengan Pelita Air sudah tepat.
Hal itu karena emiten penerbangan nasional tersebut terlilit utang yang sudah menggunung. Salah satu utang Garuda kepada PT Pertamina (Persero) mencapai Rp12 triliun.
- Ini Lima Kebijakan Gubernur Lampung Tangani Dampak Pandemi Covid-19
- Laba Garudafood Melonjak 87,6% Jadi Rp370 Miliar
- Hari Listrik Nasional Ke-76, PLN UID Lampung Gelar Bakti PDKB
Rencana penggantian Garuda dengan Pelita Air sebagai maskapai layanan domestik penuh, dinilai tidak akan bermasalah. Pasalnya, Pelita Air merupakan anak perusahaan Pertamina. Perusahaan maskapai penerbangan itu sudah masuk ke dalam daftar anggota dari holding pariwisata yang dibentuk Kementerian BUMN, bersama Garuda.
"Menteri BUMN (Erick Thohir) memang cerdas: memilih Pelita sebagai pengganti Garuda Indonesia, kalau memang diperlukan, mungkin itu tidak perlu. Garuda akan baik-baik saja sepanjang Pertamina terus memberi bahan bakar," ujarnya dikutip dari laman disway.id, Selasa (26/10/2021).
Dahlan menjelaskan, Garuda Indonesia memiliki utang ke Pertamina dari pembelian bahan bakar. Namun sudah lama, emiten berkode saham GIAA tersebut tidak pernah membayar.
Meski tidak pernah membayar, tetapi Pertamina dalam laporan keuangannya tetap memasukkan piutang tersebut sebagai sebagai laba perusahaan.
Hal itu tampak dalam laporan keuangan semester I-2021 saat Pertamina mencetak laba bersih Rp13 triliun. Menurut Dahlan, laba tersebut sudah termasuk piutang dari Garuda Indonesia sebesar Rp12 triliun.
"Tahun ini, di enam bulan pertama 2021, Pertamina sudah bisa laba Rp13 triliun. Tapi apakah berarti Pertamina punya uang Rp13 triliun? Tidak. Dari laba Rp13 triliun itu yang Rp12 triliun masih nyangkut di Garuda," terangnya.
Menurut dia, nyawa Garuda Indonesia saat ini bukan berada di tangan para lessor, melainkan di tangan produsen minyak nasional tersebut. Pasokan bahan bakar yang disalurkan Pertamina meski belum bayar cukup membuat Garuda bertahan.
"Misalkan besok pagi Pertamina ambil keputusan: tidak mau lagi kirim bahan bakar ke Garuda. Langsung, semua pesawat Garuda tidak bisa terbang," kata bos Jawa Pos Group itu.
Pelita Air Layani Domestik
Dahlan mendukung jika proses restrukturisasi yang terjadi pada tubuh Garuda Indonesia gagal, maka sudah saatnya menggantikannya dengan Pelita Air.
Menurut dia, setelah digantikan oleh Pelita dalam melayani penerbangan domestik, manajemen baru tidak punya beban masa lalu, termasuk ke para penyewa pesawat dan pemburu rente.
Kendati demikian, dia menggarisbawahi bahwa bukannya Pertamina tidak punya risiko karena Pelita yang merupakan pesawat charter dan kecil-kecil, tiba-tiba berubah menjadi maskapai nasional.
"Padahal Pertamina baru saja di-reorganisasi. Tiba-tiba saja harus punya anak perusahaan skala besar, di luar rencana," katanya.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo sebelumnya mengatakan opsi penutupan Garuda tetap terbuka meski berstatus sebagai maskapai flag carrier.
Musababnya, saat ini sudah lazim sebuah negara tidak memiliki maskapai yang melayani penerbangan internasional.
Untuk melayani penerbangan internasional, maskapai asing akan digandeng sebagai partner maskapai domestik. Sebuah maskapai telah tertarik untuk menjadi partner maskapai internasional dengan kompensasi penerbangan umrah dan haji.
Dia menyebut, jika opsi penutupan Garuda dilakukan, Kementerian BUMN akan melakukan transformasi maskapai Pelita Air dari air charter sebagai maskapai full service domestik yang sahamnya dimiliki Pertamina.
Dalam perjalanan, ketika proses restrukturisasi utang Garuda ternyata berhasil, Pelita Air tetap bakal dioperasikan sebagai maskapai full service domestik.
“Memang ada risiko apabila dalam restrukturisasi ada kreditur tidak menyetujui atau akhirnya banyak tuntutan-tuntutan legal terhadap Garuda, bisa terjadi tidak mencapai kuorum dan akhirnya bisa terjadi akan menuju kebangkrutan,” katanya. (*)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Daniel Deha pada 26 Oct 2021