Ancaman Resesi, BI Ramal Ekonomi RI Tumbuh Hingga 5,3% di 2023

Yunike Purnama - Kamis, 01 Desember 2022 06:20
Ancaman Resesi, BI Ramal Ekonomi RI Tumbuh Hingga 5,3% di 2023Ilustrasi logo Bank Indonesia (sumber: TrenAsia.com)

JAKARTA - Di tengah gejolak ekonomi global yang belum mereda, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 4,5%-5,3% pada tahun depan.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pertumbuhan ini berlanjut hingga 2024, dengan kisaran 4,7%-5,5%. Hal ini didukung oleh konsumsi swasta, investasi, dan kinerja ekspor yang tumbuh positif.

"BI memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 tetap kuat pada kisaran 4,5-5,3%, dan akan terus meningkat menjadi 4,7-5,5% pada 2024," kata Perry dalam keterangan resmi Kamis, 1 Desember 2022.

Sementara Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) diprakirakan menurun dan kembali ke sasaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024, dengan inflasi inti kembali lebih awal pada paruh pertama 2023. Hal tersebut seiring dengan terkendalinya inflasi harga impor dengan nilai tukar Rupiah yang stabil dan respons kebijakan moneter yang front loaded, pre-emptive, dan forward looking.

Menurutnya, koordinasi kebijakan yang erat dengan pemerintah pusat dan daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) dan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) berkontribusi kuat pada terkendalinya inflasi

"Sinergi dan inovasi merupakan kunci dari prospek kinerja ekonomi Indonesia pada 2023 dan 2024 yang akan melanjutkan ketahanan dan kebangkitan ekonomi," terangnya.

Dalam kesempatan tersebut, Presiden Joko Widodo berpesan bahwa, ke depan, kondisi global masih tidak pasti dan sulit untuk diprediksi. “Pada tahun 2023 betul-betul kita harus hati-hati dan waspada tanpa mengurangi optimisme," ujar Jokowi.

Dalam merumuskan kebijakan, sinergi fiskal dan moneter perlu terus diperkuat agar kebijakan ekonomi nasional yang dihasilkan memberikan manfaat yang besar bagi rakyat dan negara dalam memperkuat ketahanan dan kebangkitan ekonomi nasional.

Perry melanjutkan, sinergi dan inovasi sebagai kunci untuk menghadapi gejolak global. Optimisme terhadap pemulihan ekonomi perlu terus diperkuat dengan tetap mewaspadai rambatan dari ketidakpastian global, termasuk risiko stagflasi (perlambatan ekonomi dan inflasi tinggi) dan bahkan resflasi (resesi ekonomi dan inflasi tinggi).

"Hal ini mengingat risiko koreksi pertumbuhan ekonomi dunia dan berbagai negara dapat terjadi apabila tingginya fragmentasi politik dan ekonomi terus berlanjut, serta pengetatan kebijakan moneter memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu menurunkan inflasi di masing-masing negara," ujar Perry.

Menurutnya, stabilitas eksternal akan tetap terjaga, transaksi berjalan diprakirakan berada pada kisaran surplus 0,4% sampai dengan defisit 0,4 persen dari PDB pada 2023 dan surplus 0,2 persen sampai dengan defisit 0,6 persen dari PDB pada 2024.

Sementara neraca modal dan finansial surplus didukung PMA dan investasi portofolio. Ketahanan sistem keuangan tetap terjaga baik dari sisi permodalan, risiko kredit, dan likuiditas. Pertumbuhan kredit akan tumbuh pada kisaran 10% -12% pada 2023 dan 2024.

Ekonomi dan keuangan digital juga akan meningkat pada 2023 dan 2024 dengan nilai transaksi e-commerce diprakirakan mencapai Rp572 triliun dan Rp689 triliun. Sedangkan uang elektronik Rp508 triliun dan Rp640 triliun, dan transaksi digital banking lebih dari Rp67 ribu triliun dan Rp87 ribu triliun. (*)

Editor: Redaksi
Yunike Purnama

Yunike Purnama

Lihat semua artikel

RELATED NEWS