Lupus Masih Terlupakan, Komunitas Odapus Lampung Serukan Dukungan Lebih Luas
Eva Pardiana - Senin, 26 Mei 2025 12:01
BANDAR LAMPUNG – Mengidap penyakit lupus bukanlah hal yang mudah. Gejalanya bisa dirasakan dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat para penyandang lupus (odapus) harus berjuang ekstra setiap harinya. Namun, dari perjuangan itu lahir semangat untuk saling menguatkan yang kemudian membentuk sebuah ruang solidaritas melalui Komunitas Odapus Lampung (KOL).
Merli Susanti, Ketua KOL, bersama Tri Hasriyanti selaku Humas, menceritakan awal terbentuknya komunitas ini. Merli sendiri didiagnosis mengidap lupus sejak 2011. Ide pembentukan komunitas muncul atas saran dari dr. Firhat Esfandiari, Sp.PD., FINASIM, yang saat itu menangani Merli secara langsung.
“Awalnya saya menjadi pasien dr. Firhat. Beliau menyarankan membentuk komunitas untuk saling support. Katanya, ‘Coba kumpulin pasien, nanti saya bantu support.’ Awal tahun 2017, saya mulai mencari teman sesama odapus lewat media sosial, waktu itu lewat Facebook. Akhirnya ketemu beberapa orang, dan April 2017 kami kopi darat, hanya lima orang,” ujar Merli saat berbincang dalam Podcast Kongsi bersama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kota Bandar Lampung.
Kegiatan perdana yang dilakukan adalah Seminar Awam Lupus yang digelar di RS Natar Medika pada 13 Mei 2017. Saat itulah, Komunitas Odapus Lampung resmi terbentuk. Kini, komunitas ini telah memiliki lebih dari 270 anggota yang sebagian besar berdomisili di Bandar Lampung. Jumlah ini belum mencakup semua odapus di Lampung. “Masih banyak yang berkonsultasi secara pribadi, tapi belum siap bergabung dengan komunitas karena keterbatasan kondisi fisik atau tinggal di lokasi yang jauh,” tambah Tri Hasriyanti yang akrab disapa Asri.
KOL juga rutin menggelar berbagai kegiatan pemberdayaan, seperti kelas baking, merajut, dan menulis. Kegiatan ini dirancang untuk membantu anggota agar tetap produktif dan mandiri dari rumah. Selain itu, mereka juga aktif melakukan pendampingan pasien lupus, terutama bagi mereka yang baru pertama kali didiagnosis. Pertemuan rutin, kunjungan pasien, seminar edukasi, senam lupus, hingga pengajian berkala menjadi bagian dari aktivitas KOL.
Meski dalam kondisi sakit, Merli mengaku tetap semangat menjalani berbagai aktivitas bersama KOL. “Apa yang kami lakukan di komunitas ini membuat saya terus bertahan. Rasa empati dan syukur saya semakin bertambah. Saat ini, saya sudah berada pada tahap bisa menerima dan mensyukuri kondisi yang saya alami,” ungkapnya.
Faktor Risiko dan Diagnosa Lupus
Merli menjelaskan, penyakit lupus memiliki sejumlah faktor risiko yang penting untuk diketahui. Salah satunya adalah faktor jenis kelamin dan usia. Perempuan usia produktif diketahui memiliki risiko lebih tinggi dibanding laki-laki. “Dari 100 penderita lupus, sekitar 90 di antaranya adalah perempuan, dan hanya 10 laki-laki,” ungkapnya.
Selain itu, faktor keturunan juga berpengaruh—anak-anak dari penyintas lupus memiliki potensi lebih besar untuk mengidap penyakit ini. Faktor lingkungan pun tak kalah penting. Paparan sinar matahari berlebihan dan polusi udara dapat memicu gejala atau memperburuk kondisi penderita lupus.
“Di Komunitas Odapus Lampung ini, anggota kami berasal dari berbagai rentang usia dan gender, bahkan ada juga anak-anak. Tapi memang, perempuan usia produktif secara hormonal memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan laki-laki,” ujar Merli.
Lupus merupakan penyakit yang cukup sulit untuk didiagnosis. Gejala yang beragam dan sering menyerupai penyakit lain membuat proses diagnosis memerlukan waktu yang tidak singkat. Merli, misalnya, baru mendapatkan diagnosis lupus setelah mengalami berbagai gejala selama lebih dari tiga tahun. Hal serupa juga dialami Asri, yang baru dinyatakan mengidap lupus setelah menjalani pengobatan selama tujuh tahun. Karena kompleksitas gejalanya, lupus sering dijuluki sebagai "penyakit seribu wajah".
Untuk membantu deteksi dini, Merli menyarankan pemeriksaan mandiri melalui metode Saluri (Periksa Lupus Sendiri), dengan mengenali 11 tanda awal lupus. Gejala-gejala tersebut meliputi: ruam malar (butterfly rash), yaitu ruam merah berbentuk kupu-kupu di wajah, terutama di pipi dan hidung; ruam berbentuk cakram (koin) yang dapat meninggalkan bekas luka; kulit yang sensitif terhadap sinar matahari hingga menimbulkan reaksi; nyeri dan bengkak pada persendian; peradangan pada lapisan organ seperti pleuritis (paru-paru) atau perikarditis (jantung); gangguan ginjal berupa proteinuria (protein dalam urin) atau adanya sel darah merah dalam urin; kejang atau gangguan saraf lainnya; anemia atau gangguan darah; sariawan atau luka di mulut; kerontokan rambut; serta perubahan warna pada jari tangan dan kaki yang menjadi pucat atau biru saat terkena udara dingin.
Pada momen Hari Lupus Sedunia yang juga bertepatan dengan ulang tahun ke-8 Komunitas Odapus Lampung (KOL) pada 13 Mei 2025, Merli dan Asri menyampaikan harapan agar semakin banyak pihak yang memberikan dukungan, baik dari masyarakat maupun pemerintah. Mereka menekankan bahwa lupus bukan hanya berdampak pada kondisi fisik, tetapi juga membawa pengaruh besar terhadap aspek psikologis, sosial, dan ekonomi para penyintas.
Banyak penyandang lupus yang awalnya aktif dan produktif, namun seiring memburuknya kondisi, mereka mengalami penurunan kemampuan hingga kesulitan menjalani aktivitas harian. Tak sedikit pula yang harus kehilangan pekerjaan, menarik diri dari lingkungan sosial, bahkan mengalami tekanan mental akibat perubahan drastis dalam kehidupan mereka.
“Lupus saat ini belum menjadi isu nasional. Kesadaran masyarakat terhadap keberadaan dan dampak penyakit ini masih sangat rendah. Komunitas Odapus Lampung berharap adanya dukungan nyata dari berbagai pihak, terutama pemerintah, agar ke depan regulasi pengobatan lupus dapat dipermudah dan biaya pengobatannya bisa ditanggung oleh BPJS,” ungkap Merli. (*)
Simak Perbincangan Komunitas Odapus Lampung dengan SMSI Bandar Lampung di sini PODCAST KONGSI.