Dua Dekade UU PKDRT, Kasus KDRT Bak Gunung Es

Yunike Purnama - Rabu, 06 September 2023 09:40
Dua Dekade UU PKDRT, Kasus KDRT Bak Gunung EsKementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama dengan Perkumpulan Jalastoria Indonesia (JalaStoria) menilai kasus KDRT hingga kini bak gunung es. (sumber: Freepik)

JAKARTA - Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sebagai payung hukum dalam memberikan jaminan perlindungan dari KDRT telah hadir hampir dua dekade, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama dengan Perkumpulan Jalastoria Indonesia (JalaStoria) menilai kasus KDRT hingga kini bak gunung es.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga Rentan KemenPPPA, Eni Widiyanti mengatakan September 2023 ini, UU PKDRT genap berusia 19 tahun.

"Selama 19 tahun kehadiran UU PKDRT dalam memberikan jaminan perlindungan bagi korban KDRT masih dianggap belum sepenuhnya optimal karena masih banyak berulangnya kejadian dan kasus KDRT serupa dimana dominasi  korban KDRT adalah perempuan,” kata Eni, Senin (4/9/2023).

Dia menjelaskan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021 menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual.

Sedangkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2021 bahwa 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya, baik itu kekerasan fisik, seksual ataupun kekerasan emosional," ujarnya.

Dia mengungkapkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA), data pelaporan kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 2022 hingga Juni 2023 tercatat sebanyak 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 16.275 orang.

Lalu,  kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 23.363 kasus dengan jumlah korban 25.802 orang. Sementara itu, pada Januari sampai Juni 2023 berdasarkan tempat kejadian, kasus kekerasan yang paling banyak dialami adalah dalam rumah tangga (KDRT) sebesar 48,04% atau 7.649 kasus, ungkap dia.

Eni mengatakan data tersebut merupakan data terlapor.

Faktanya, kasus KDRT merupakan fenomena gunung es dimana seringkali kejadian tersebut tidak dilaporkan sehingga jumlah angka tepatnya kasus KDRT tidak dapat dipetakan. Maka dari itu, kampanye ini menjadi penting untuk diselenggarakan agar masyarakat Indonesia tak hanya mengetahui upaya pencegahan dan penanganan KDRT semata, namun juga kehadiran nyata payung hukum UU PKDRT yang memberikan jaminan perlindungan bagi korban,” tutur Eni.

Berani Bicara

Eni mengungkapkan, bekerja sama dengan JalaStoria melakukan rangkaian kampanye sebagai salah satu bentuk untuk mengajak masyarakat Indonesia untuk berani berbicara atau Dare to Speak Up atas segala bentuk kekerasan yang dialami, diketahui, ataupun dilihat.

"Sudah banyak sekali contoh nyata dari kasus KDRT yang menimpa perempuan namun tidak dilaporkan ataupun laporannya ditarik kembali karena alasan ranah domestik sehingga terkadang korban diminta untuk berdamai dengan pelaku," ungkap dia.

“Melalui rangkaian kampanye ini, kami tidak hanya menekankan pada ajakan untuk berani berbicara namun juga pada upaya pencegahan dan penanganannya sebagai dua dimensi yang melingkupi UU PKDRT. Dari mulai pencegahan dimana segenap upaya harus diarahkan dalam mengorek akar permasalahan yang ada, baik itu norma agama, budaya, sosial, hingga finansial. Dalam penanganannya diperlukan kesiap siagaan dalam mengerahkan segenap sumber daya yang tersedia untuk menindak pelaku dan memberikan pelindungan dan pemulihan kepada korban, baik itu Aparatur Penegak Hukum (APH), Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), hingga Non Governmental Organization (NGO) pendamping terkait baik di tingkat pusat dan daerah,” jelas Eni.

Sementara pendiri JalaStoria yang juga Ketua Dewan Pers Periode 2022-2025, Ninik Rahayu, mengatakan kehadiran UU PKDRT yang hampir dua dekade lamanya merupakan harapan dari masyarakat Indonesia terutama para korban KDRT yang menginginkan UU PKDRT menjadi salah satu jalan memperoleh keadilan dan perlindungan. Namun dalam perjalanan penegakkan hukumnya, UU PKDRT kerap menghadapi berbagai macam tantangan dan hambatan.

“Salah satu tantangan dan hambatan terbesar yang dihadapi dalam proses penegakkan hukum UU PKDRT ini adalah perspektif. Banyak korban, khususnya perempuan yang sulit memposisikan dan mengondisikan dirinya mengalami KDRT. Apalagi KDRT ini berkaitan erat dengan norma agama, budaya, sosial, dan finansial yang begitu kompleks sehingga KDRT dianggap sebagai kasus yang terjadi di ruang pribadi dan sukar untuk diungkapkan di muka umum,” ungkap Ninik.

Ninik menyampaikan, tantangan dan hambatan seperti itulah yang juga mendasari penyelenggaraan rangkaian Kampanye Jelang Dua Dekade Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Selain itu, kampanye tersebut juga bertujuan untuk mengetahui tantangan implementasi UU PKDRT yang telah diundangkan sejak 2004, mencari solusi dan strategi yang paling tepat dalam pencegahan dan penanganan KDRT, dan membangun pemahaman serta kesadaran publik tentang pentingnya UU PKDRT dalam mengurangi kasus kekerasan dalam ranah domestik.

Kampanye Jelang Dua Dekade Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pun menjadi momentum refleksi akan segala bentuk pencegahan, penanganan, dan pemulihan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, APH, hingga stakeholder terkait dalam upaya penghapusan KDRT di Indonesia.

Adapun rangkaian kampanye tersebut berlangsung selama bulan September 2023 melalui 3 (tiga) sesi dialog konstruktif dengan Tokoh Agama, Lembaga Penyedia Layanan, dan Aparatur Penegak Hukum, hingga puncak kampanye di ruang terbuka.(*)

Editor: Redaksi
Yunike Purnama

Yunike Purnama

Lihat semua artikel

RELATED NEWS