Untung Besar, Pengamat Ingatkan Pengusaha Batu Bara Tetap Bijak

2022-03-07T22:01:19.000Z

Penulis:Chairil Anwar

Editor:Chairil Anwar

Coal barges are pictured as they queue to be pulled along Mahakam river in Samarinda, East Kalimantan province, Indonesia, August 31, 2019.jpg
Kapal tongkang batu bara terlihat mengantre untuk ditarik di sepanjang sungai Mahakam di Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia, 31 Agustus 2019.

JAKARTA – Harga komoditas kompak melonjak seiring dengan memanasnya konflik antara Rusia dan Ukraiana. Hal itu juga berlaku pada komoditas dengan julukan emas hitam yakni batu bara yang sempat menyentuh level tertingginya sepanjang sejarah di level US$446 per ton pada Kamis, 3 Maret 2022.

Berbeda dengan kenaikkan harga pada komoditas minyak dan gas (migas) yang malah menjadi beban bagi APBN, meroketnya harga batu bara justru mendatangkan segudang keuntungan yang luar biasa mengingat Indonesia merupakan salah satu negara pemasok batu bara terbesar di dunia saat ini.

Hal itu disampaikan oleh pengamat ekonomi dan energi asal Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi. Ia menerangkan bahwa kenaikan harga batu bara ini semakin memperbesar margin keuntungan yang didapat oleh para pengusaha batu bara melalui penjualan ekspor.

“Dengan harga pokok produksi antara US$ 30—40 per metrik ton, keuntungan besar sudah di tangan. Kenaikan laba yang besar itu sudah pasti akan menaikan harga saham bagi semua emiten perusahaan batu bara, yang menjual sahamnya di pasar modal,” terang Fahmy kepada trenasia.com Senin, 7 Maret 2022.

Selain dengan meningkatkan keuntungan bagi para pengusaha batu bara, penjualan ekspor dengan harga yang tinggi saat ini secara tidak langsung juga akan berimbas pada meningkatnya perolehan pendapatan melalui devisa bagi negara melalui ekspor komoditas tersebut.

 “Meroketnya harga batu bara sangat menguntungkan bagi Indonesia, menaikkan perolehan devisa bagi negara dan pengusaha meraub laba dalam jumlah sangat besar,” terang Fahmy.

Meski begitu, Fahmy tetap mengingatkan agar para pengusaha tetap bijak dalam melakukan kegiatan ekspor batu bara ditengah lonjakan harga batu bara dunia yang terjadi saat ini.

“Pengusaha batu bara jangan rakus dalam meraub keuntungan dengan mengekspor seluruh produksi, tanpa memasok batu bara ke PLN (PT Perusahaan Listrik Negara) itu dapat menyebabkan krisis batubara di PLN  seperti yang terjadi sebelumnya,” jelas Fahmy. 

Fahmy meminta para pengusaha agar tetap patuh dan memperhatikan kewajiban pemenuhan batu bara di dalam negerinya melalui DMO (Domestic Market Obligation) ke PLN. Dalam ketentuan DMO tersebut, pengusaha wajib menjual batu bara-nya ke PLN sebesar 25% dari total produksi dengan harga US$70 per ton.

Sementara itu, untuk mencegah terjadinya krisis pasokan batu bara seperti yang sempat terjadi di awal tahun 2022 lalu, PLN saat ini sudah mengembangkan monitoring system yang terintegrasi dengan Kemeterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Hasil monitoring itu nantinya akan menjadi dasar bagi Kementerian ESDM untuk menetapkan sejumlah sanksi baik berupa larangan ekspor, larangan produksi, ataupun pencabutan izin usaha bagi para pengusaha batu bara yang tidak patuh dalam pemenuhan DMO.

“Untuk itu, Kementerian ESDM harus berani menerapkan sanksi tegas bagi pengusaha yang abai terhadap ketentuan DMO, tanpa memperdulikan siapa pun pemilik perusahaan batubara tersebut,” tutup Fahmy. (RIL) 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Farhan Syah pada 07 Mar 2022