Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA - Musim dingin masih melanda sebagian besar start up di dunia termasuk di Indonesia. Dalam indeks S&P Global Investment Manager terbaru yang mensurvey 300 perusahaan manajer investasi asal AS dengan total dana kelolaan atau AUM US$3,5 triliun setara Rp54,16 kuadriliun (asumsi kurs Rp15.475 per dolar AS), disebutkan bahwa sektor teknologi menyentuh titik sentimen bearish terendah.
Situasi ini membuat likuiditas atau arus kas start up ketat karena pendanaan menjadi barang mahal belakangan ini. Mau tidak mau, start up harus putar otak agar bisa menerima pendanaan kembali dari perusahaan modal ventura.
Managing Partner of Ideosource VC, Edward Ismawan Chamdani mengatakan sebenarnya winter tech lebih terasa bagi start up yang sudah mapan dan sedang memburu tahap pendanaan seri C atau senilai US$50 juta setara Rp764,1 milar (asumsi kurs Rp15.281 per dolar AS).
Pada tahap ini, lazimnya start up tengah bersiap untuk diakuisisi, IPO ataupun melakukan ekspansi yang signifikan serta memiliki valuasi minimal US$118 juta setara Rp1,8 triliun.
“Kendalanya memang saat ini untuk capital call yang cukup signifikan pasti akan dipertanyakan justifikasinya apa? Dengan semua tech winterini apakah tahun 2023 waktu yang tepat untuk VC menggelontorkan dana yang cukup besar khususnya untuk yang seri C, D dan seterusnya in between ini,” kata Edward kepada TrenAsia.com jaringan Kabarsiger.com pada Kamis, 12 Januari 2023.
Bagi start up mapan dalam kategori unicorn dan decacorn ini, pendanaan baru akan semakin mahal mengingat acuannya sudah menuju perusahaan global yang valuasi sudah jauh lebih besar. Namun bukan tidak mungkin mereka memperoleh pendanaan baru, misalnya jika ekspansi menggarap segmen baru, kota tier 2 atau 3 misalnya.
Sementara bagi start up yang masih dalamtahap awal seperti pre-seed maupun seed semestinya aman-aman saja untuk mendapat pendanaan. Apalagi, negara asia khususnya Indonesia tengah menjadi primadona investor asing.
Edward membeberkan, hal tersebut lantaran risk appetite perusahaan-perusahaan private equity, investment banking maupun VC asal AS sedang bearish terhadap pasar negara asalnya, sementara China sendiri sedang kurang bagus pasar start upnya dan India sudah terlalu matang atau ate stage.
“Apalagi ada reconsideration dari Tesla yang kelihatannya akan bangun pabrik juga di Indonesia. Jadi yang early stage ini masih menarik. Misal e-Commerce saja yang dianggap penetrasinya cukup bagus, CAGR nya masih 20-25%. Artinya memang tech disruption di berbagai di sektor masih terbuka, dan ekonomi Indonesia maih cukup besar. Jadi menurut saya masih banyak model bisnis dan sektor belum tergarap yang akan tetap dilirik,” beber Edward.
Investee atau start up penerima dana dari Ideosource VC sendiri beberapa sejak 2022 lalu memanfaatkan momentum untuk melakukan fund rising demi bertahan selama 1,5 hingga 2 tahun mendatang dari sisi arus kas.
Adapun sektor yang dianggap Edward masih seksi di 2023 adalah e-Commerce karena memiliki potensi untuk merger atau diajak investor strategis untuk memantapkan captive market. Lalu juga sektor agrikultur dan akuakultur serta yang berhubungan dengan sustainable impact.
“Investor luar mulai cari yang anglenya green, ESG, SDG, carbon offset. AI di luar negeri juga masih seksi cuma apakah akan tricle down ke Indonesia masih perlu dilihat lagi apakah start up lokal siap bersaing? Apakah development mateng?," kata Edward.
Sementara Managing Partner Gayo Capital, Jefri R. Sirait, menegaskan bahwa pada prinsipnya investasi di Gayo terus berjalan. Bahkan bulan Januari 2023 Gayo sendiri melakukan pendanaan.
Meskipun demikian, masing-masing VC akan memiliki appetite desire sesuai yang menjadi tujuan kebijakan pengembangan mereka.
“Namanya runway fund (dana yang dibutuhkan untuk tetap bisa beroperasi selama beberapa bulan) tetap menjadi kebutuhan, hanya timingnya yang ditentukan. Ini bicara strategi pertumbuhan masing-masing VC yang tentu melihat juga investasi eksisting,” kata Jefrie kepada TrenAsia.com.
Ditambahkan, umumnya strategi pertumbuhan VC ada tiga. Pertama, exit baik secara partial ataupun full exist investee dengan kondisi yang memang sudah ditentukan untuk didivestasi. Exit strategipun lagi-lagi berbeda-beda setiap VC.
Kedua adalah kondisi fair dimana VC akan menjaga traksi start up dengan pendekatan business as usual. Ketiga, yang terpeting adalah diboosting atau pendanaan yang kian ditambahkan dengan beberapa pertimbangan seperti kinerja ekosistem.
“Industri startup itu bukan satu industri yang seragam yah, sama saja seperti kalau ngomongin perusahaan kelapa sawit atau batu bara itu kan ada yang kecil, sedang da besar. Jadi winter tech sendiri tidak bisa digeneralisir terjadi ke semua start up,” kata Jefri. (*)