Pelita Air
Penulis:Yunike Purnama
JAKARTA—Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan Garuda Indonesia tidak menjadi bagian maskapai pelat merah yang akan terkena merger atau penggabungan. Merger diputuskan hanya antara Citilink dan Pelita Air.
Sementara PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) tetap akan menjadi entitas yang berdiri sendiri. Hal itu disampaikan Menteri BUMN dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Kamis 31 Agustus 2023. “Garuda tetap sendiri, kan sudah bagus. Citilink dan Pelita kita lebur,” ujar Erick, dikutip Jumat 1 Agustus 2023.
Erick menegaskan merger maskapai perlu dilakukan karena jumlah pesawat Indonesia masih belum ideal. Sebagai perbandingan, industri pesawat di Amerika Serikat memiliki sekitar 7.200 pesawat dengan jumlah populasi penduduk 300 juta dan rata-rata pendapatan per kapita mencapai US$40 ribu.
Adapun jumlah penduduk di Indonesia mencapai 280 juta dengan pendapatan per kapita US$4.700 dan diproyeksi akan tembus US$5.000. Dengan kondisi itu, Erick menghitung Indonesia idealnya memiliki 720 pesawat. Apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan.
Saat ini Indonesia baru memiliki sekitar 500 armada pesawat. “Anggap Indonesia 10% nya Amerika. Harus dicatat, Indonesia adalah negara kepulauan, Amerika satu pulau. Kalau 10% saja (dari AS), kita perlu 720 pesawat,” ujar Erick.
Lebih lanjut, pihaknya mengatakan Pelita sebelumnya lahir karena kekhawatiran BUMN ihwal gagalnya restrukturisasi Garuda. Saat ini maskapai yang dimiliki Pertamina tersebut memiliki 12 pesawat. Jumlahnya bakal ditambah menjadi 20 pesawat.
Adapun Garuda Indonesia memiliki 60 pesawat dan Citilink 50 pesawat. Jika digabungkan, ketiga maskapai tersebut memiliki 140 pesawat. “Targetnya punya 170 pesawat,” jelas Erick. Wakil BUMN Kartika Wirjoatmodjo menambahkan pihaknya menargetkan rencana merger perusahaan maskapai BUMN tersebut selesai tahun ini.
Pihaknya bakal melihat pembukuan Citilink dan Pelita Air untuk mengawali proses tersebut. Ihwal target penambahan 30 pesawat, dia menyebut hal itu bisa dipenuhi paling lambat tahun 2026. “Semua perlu proses,” ujar Tiko, sapaan akrabnya.
Sebelumnya pengamat penerbangan Alvin Lie mengkritisi rencana merger tiga maskapai BUMN tersebut. Alvin menilai upaya peleburan akan membuat perusahaan menjadi sangat besar. “Saya justru khawatir, bukannya makin efisien tetapi justru makin tidak efisien,” ujar Alvin.
Selain itu, Alvin menilai masing-masing maskapai yang akan dimerger tersebut memiliki karakter serta pangsa pasar yang berbeda. Dikhawatirkan dengan merger yang dilakukan, maskapai-maskapai tersebut memiliki potensi kehilangan pangsa pasar yang dilayani saat ini, termasuk izin rute dan slot penerbangan.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menyarankan ketiga maskapai tersebut tetap beroperasi sendiri-sendiri dengan identitas dan segmentasi penerbangannya sendiri. Djoko berpendapat, ciri khas dan brand image tiap perusahaan dalam masyarakat harus tetap dijaga. “Garuda bisa terus menggarap pasar premium, sedangkan Citilink atau Pelita Air menyasar penerbangan perintis agar lebih efisien.”(*)