Sikap DAMAR Terkait Keputusan KPU RI Tak Perhatikan Keterwakilan Perempuan

2024-10-14T14:32:31.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Redaksi

IMG_4307.jpeg

BANDARLAMPUNG - Perkumpulan DAMAR menyesalkan Keputusan KPU RI atas tidak adanya keterwakilan Perempuan yang menjadi komisioner KPU Provinsi Lampung  Tahun 2024-2029.

Tim Seleksi menyampaikan bahwa telah menjalankan proses seleksi sesuai prosedur yang berlaku dan hasil keputusan akhir menjadi kewenangan KPU RI. Sementara, KPU RI melakukan uji kelayakan terhadap orang-orang yang telah diloloskan oleh Tim Seleksi.

 Negara sembunyi dibalik  frasa “MEMPERHATIKAN” dan senang lempar tangan dibalik  frasa “MEMPERHATIKAN”.

Direktur Eksekutif Perkumpulan DAMAR Afrintina mengatakan, "Memperhatikan yang dimaksudkan oleh pemerintah 30 % keterwakilan perempuan hanya yang mendaftar di bidang politik saja, tidak dipahami hingga keputusan akhir, tidak henti-henti kami sampaikan bahwa regulasi masih setengah hati menguatkan posisi perempuan di bidang politik di Indonesia,"ujarnya.

Sejak awal, baik komposisi keanggotaan Bawaslu Provinsi Lampung, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota tidak memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.

Mulai Pengumuman Hasil Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Anggota Bawaslu Provinsi Lampung Masa Jabatan 2023-2028 Nomor 60/KP/KI/07/2023 yang dikeluarkan pada 25 Juli 2023, yang Tak Penuhi Keterwakilan Perempuan, kemudian Keputusan KPU Nomor 1475 Tahun 2024 tentang Penetapan Calon Anggota KPU Provinsi Lampung Terpilih Periode 2024 – 2029 Tanpa Perempuan.

Padahal, partisipasi politik perempuan, menjadi syarat bagi kesetaraan gender dan demokrasi serta sarana untuk memastikan pemajuan dan pelindungan Hak Asasi Manusia. Hak politik erat kaitannya dengan hak kewarganegaraan yang salah satu praktik dari pemenuhan hak ini dilakukan melalui tindakan Afirmasi (Affirmative Action).

Berdasarkan pantauan yang dilakukan oleh DAMAR, situasi pemenuhan hak politik perempuan saat ini  masih tertinggal di segala bidang kehidupan seperti : pendidikan, kesehatan, kemiskinan, tindak kekerasan terhadap perempuan, dan politik.

Perempuan masih kurang mendapat akses berperan dalam struktur kekuasaan dan proses pengambilan keputusan, mulai dari keluarga, lembaga politik, dan penentu kebijakan publik. Perempuan terbentur langit-langit kaca dalam peningkatan keterlibatan secara politik.

Mengalami halangan-halangan yang seringkali kasat mata, tetapi sangat nyata dirasakan dan menghambat perempuan untuk terlibat secara politik. kuota keterwakilan perempuan tidak terpenuhi, nomor urut tidak menguntungkan caleg perempuan, kurangnya representasi perempuan dalam kepemimpinan partai politik, hingga kurangnya dukungan partai politik terhadap perempuan.

Masih terdapat penolakan dan hambatan sosial, budaya dan politik, baik di tingkatan partai politik, negara, maupun masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan. Hambatan seperti Intimidasi, pencurian suara, penyerangan seksual, pemecatan terhadap caleg perempuan terpilih serta penolakan karena jenis kelamin perempuan. Instrumen hukum dan aturan main pemilu menjelma begitu maskulin dan mematahkan landasan kesetaraan hak politik yang telah dibangun sekian dekade lamanya.

Berdasarkan jumlah dari total presentase Komisioner KPU dan Bawaslu dapat disimpulkan bahwa keterwakilan perempuan di ranah penyelenggara pemilu kurang dari 30%, bahkan tidak sampai 25%. Selain itu keterwakilan perempuan parlemen di Lampung hanya memenuhi kuota 20%.

Kondisi ini menjadi tantangan yang besar bagi perempuan, karena perempuan dituntut untuk memiliki kapasitas dan komitmen dalam upaya memperkuat keterwakilan perempuan di ranah politik berdasarkan amanat konstitusi dan peraturan lainnya. Kurangnya respresentasi perempuan dalam kancah politik harusnya hal ini menjadi perhatian penting yang harus diperhatikan oleh semua lini.

“Yang harus segera dilakukan secara bersama antara lain menjadi akses bagi perempuan untuk masuk di dalam isntitusi politik dan muaranya adalah mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, memastikan struktur penyelenggara dan pelaksanaan pemilu yang berkeadilan gender,”ujar Afrin.

Diperlukan pedoman seleksi yang mengatur teknis afirmasi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 % pada tiap tahapan seleksi penyelenggara pemilu, menata ulang ketentuan afirmasi dengan menempatkan perempuan di nomor urut 1 pada 30 % daerah pemilihan, adanya bantuan keuangan partai politik untuk pemberdayaan partai politik, perempuan ditempatkan pada posisi strategis pengambil keputusan di partai politik, kesadaran pentingnya peran perempuan untuk memperjuangkan hak sesama perempuan harus lebih luas disadari rakyat Indonesia.

Jika demokrasi mengabaikan partisipasi perempuan dan membatasi perkembangan hak-hak perempuan, maka demokrasi hanya untuk separuh warganya.(*)