Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
LONDON - Perusahaan asuransi Lloyd's of London mengungkap kerugian ekonomi global akibat cuaca ekstrem berpotensi mencapai US$17,6 triliun atau setara Rp276 kuadriliun selama lima tahun. Angka tersebut lebih dari lima kali lipat Produk Domestik Bruto (PDB) seluruh negara ASEAN selama setahun.
Merujuk data Statista, estimasi total GDP seluruh negara ASEAN sekitar US$3,36 triliun (setara Rp52,7 kuadriliun) pada 2022. Riset Lloyd's menyebut cuaca ekstrem memicu perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen, kekurangan pangan, dan air di penjuru dunia.
Lloyd's yang menggandeng Cambridge Centre for Risk Studies dalam riset, menjelaskan skenario risiko sistemik tersebut masih bersifat hipotetis. Meski demikian, penelitian tersebut ingin meningkatkan pemahaman dunia usaha dan pembuat kebijakan soal ancaman cuaca ekstrem.
“Perekonomian global menjadi semakin kompleks dan semakin rentan terhadap ancaman sistemik,” ujar Direktur Eksekutif Risiko Sistemik di Cambridge Centre for Risk Studies Trevor Maynard, dikutip dari Reuters, Kamis, 12 Oktober 2023.
Maynard berharap penelitian tersebut dapat membantu pelaku bisnis dan pembuat kebijakan untuk mengeksplorasi potensi dampak cuaca ekstrem, seperti pangan dan air terhadap PDB global selama periode lima tahun.
Merujuk penelitian Lloyd's, kerugian ekonomi global akibat cuaca ekstrem dibagi menjadi tiga skenario tingkat keparahan yakni besar, parah, dan ekstrem. Dalam skenario besar, kerugian ekonomi global diprediksi sebesar US$3 triliun selama lima tahun.
Untuk skenario parah, kerugian ekonomi global diperkirakan mulai dari US$5 triliun. Sementara untuk skenario yang paling ekstrem, kerugiannya bisa mencapai hingga US$17,6 triliun. Selain itu, Lloyd's menyebut cuaca ekstrem akan berpusat di wilayah China dan sekitarnya, yang diperkirakan memiliki kerugian ekonomi global terbesar yakni US$4,6 triliun.
Sementara wilayah Karibia akan kehilangan 19% dari PDB-nya selama lima tahun apabila cuaca ekstrem terus terkonsentrasi di sana. Cuaca ekstrem sendiri tak hanya berdampak dari segi ekonomi. Keanekaragaman hayati juga terancam akibat perubahan iklim.
Baru-baru ini bangkai 120 lumba-lumba sungai ditemukan mengapung di anak sungai Amazon. Para ahli menduga fenomena itu disebabkan kekeringan dan panas yang sangat ekstrem. Permukaan sungai yang rendah selama kekeringan parah telah membuat suhu air di beberapa bagian naik hingga tingkat yang tidak dapat ditoleransi lumba-lumba tersebut.
Ribuan ikan baru-baru ini juga mati di sungai-sungai Amazon akibat kekurangan oksigen dalam air. Lumba-lumba sungai Amazon, banyak di antaranya berwarna pink mencolok, adalah spesies air tawar unik yang hanya ditemukan di sungai-sungai Amerika Selatan.
Hewan itu merupakan salah satu dari sedikit spesies lumba-lumba air tawar yang tersisa di dunia. Siklus reproduksi yang lambat membuat populasi mereka sangat rentan terhadap ancaman. (*)