Perjalanan Minyak Sawit Hingga Jadi Komoditas Penting di Dunia

2021-11-07T19:41:32.000Z

Penulis:Eva Pardiana

Editor:Eva Pardiana

Minyak sawit
Minyak sawit

JAKARTA – Minyak kelapa sawit menjadi salah satu jenis minyak yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Keberadaannya sangat dibutuhkan karena menjadi bahan baku untuk memproduksi berbagai kebutuhan masyarakat, seperti makanan, kosmetik, produk kebersihan, dan juga bisa digunakan sebagai sumber biofuel atau biodiesel.

Minyak sawit merupakan bahan baku yang terdapat dalam sekitar setengah dari semua produk kemasan yang dijual di supermarket. Berdasarkan data World Wildlife Fund (WWF) dunia pada 2017 mengkonsumsi 75,8 juta ton (68,8 juta metrik ton) minyak sawit dan ini lebih dari sepertiga dari semua minyak nabati yang digunakan di planet ini.

Kehadiran minyak sawit di mana-mana dan konsumsi dunia terus meningkat, membuat banyak aktivis lingkungan sangat khawatir. Banyak yang menilai penanaman pohon kelapa sawit (Elaeis guineensis) akan mendorong penebangan dan pembakaran hutan hujan tropis di Asia Tenggara, yang meningkatkan risiko kesehatan dari polusi dan memompa karbon dioksida peringatan planet ke atmosfer. Selain itu rusaknya hutan akan mengusir hewan seperti orangutan, harimau, badak, dan gajah dari habitatnya.

Bagaimana perjalanan minyak sawit hingga menjadi komoditas penting di dunia?

Minyak kelapa sawit dihasilkan dari buah pohon kelapa sawit yang berasal dari Afrika barat. Selama berabad-abad, tanaman itu telah menjadi bagian dari makanan tradisional di wilayah itu sebagai sumber lemak dan nutrisi lainnya serta digunakan sebagai minyak goreng dan bahan obat-obatan tradisional. 

Jeff Conant, direktur program hutan internasional Friends of the Earth yang bekerja untuk melindungi hak-hak masyarakat yang bergantung pada hutan mengatakan petani kecil Afrika menanamnya di hutan dan sebagai bagian dari sistem agro-forestry campuran.

Tapi kelapa sawit tidak selamanya tinggal di Afrika. Orang Eropa kemudian membawa kelapa sawit ke Asia Tenggara pada tahun 1800-an dan mencoba menanamnya di perkebunan. Tapi tanaman itu tidak populer sampai pertengahan 1960-an. 

Salah satu pendorong besar adalah Bank Dunia, yang menghabiskan hampir US$1 miliar untuk mendanai budidaya kelapa sawit sebagai cara untuk mempromosikan pembangunan ekonomi orang-orang di daerah pedesaan keluar dari kemiskinan

Menurut laporan Bank Dunia yang dikutip Howstuffwork.com,  sekitar setengah dari uang itu digunakan untuk mendanai serangkaian proyek di Indonesia, yang menjadi produsen terbesar dunia. Antara tahun 1960-an dan 2000-an, jumlah lahan yang dikhususkan untuk menanam budidaya kelapa sawit meningkat delapan kali lipat dan menyebar ke daerah tropis di seluruh dunia.

"Tanaman itu diperbaiki dan dihibridisasi, dan varietas dikembangkan yang tumbuh sangat baik di perkebunan monokultur besar," jelas Conant.

Kelapa sawit menjadi tanaman yang menguntungkan. "Ini sebenarnya adalah tanaman yang sangat efisien, dalam hal jumlah minyak yang dihasilkan per hektare lahan," kata Conant.

Selain itu penggunaan baru dikembangkan. "Bahan ini bagus untuk menggantikan margarin, karena memiliki titik leleh yang tinggi, dan ketika dimurnikan, tidak memiliki rasa. Itu membuatnya bagus untuk memanggang," kata Conant.

Pada pertengahan 2000-an, setelah Food and Drug Administration Amerika mulai mewajibkan pencatatan kandungan lemak pada label nutrisi karena dikaitkan dengan penyakit jantung, produsen makanan olahan mulai mencari minyak sawit sebagai alternatif bebas lemak.

Menurut proyek bersama organisasi jurnalisme ProPublica dan The New York Times Magazine, Amerika dan negara-negara barat lainnya pada pertengahan 2000-an merancang undang-undang lingkungan yang mendorong penggunaan minyak nabati seperti minyak sawit sebagai bahan bakar. Langkah ini  sebagai cara untuk mengurangi karbon dioksida dan memperlambat pemanasan global. 

Namun menurut laporan tersebut langkah niat baik itu menjadi boomerang karena disusul pembukaan dan pembakaran hutan besar-besaran untuk budidaya kelapa sawit. Yang terjadi justru pelepasan sejumlah besar karbon yang telah tersimpan di lahan gambut.

“Pohon kelapa sawit sering tumbuh paling baik di tempat di mana hutan hujan berada, ini jelas merupakan faktor deforestasi,” kata Conant.

Budidaya kelapa sawit membawa masalah lain juga. Menurut Conant budidaya monokultur diperlukan untuk menghasilkan keuntungan, dan itu akan merusak tanah setelah 25 atau 30 tahun, katanya. "Ini bisa sangat sulit untuk memulihkan tanah sesudahnya."

Dan meski industri kelapa sawit menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang, industri itu juga diganggu oleh tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penggunaan pekerja anak. Artikel Desember 2018 di majalah Sierra misalnya, menggambarkan penduduk asli Guatemala yang bekerja 16 jam sehari di perkebunan kelapa sawit dan memperkirakan bahwa penggunaan budidaya kelapa sawit berkontribusi pada kelangkaan pangan, karena mengambil lahan di mana petani lokal dapat menanam jagung, kacang, nasi dan tanaman subsisten lainnya.

Karena banyaknya kritik kerusakan lingkungan akibat sawit, sejumlah negara kemudian membuat pengaturan ketat. Indonesia kerap yang kena batunya karena dinilia tidak memenuhi standar mereka, terutama dalam menjaga lingkungan terkait penanaman sawit. (*)

 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Amirudin Zuhri pada 07 Nov 2021