gojek
Penulis:Eva Pardiana
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Tuntutan sejumlah pengemudi ojek online (ojol) yang meminta agar aplikator menurunkan potongan komisi maksimal hanya 10 persen dinilai tidak realistis. Pengamat Ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Rumayya Batubara, mengingatkan bahwa kondisi keuangan perusahaan aplikator masih belum stabil dan cenderung merugi.
“Kita ambil contoh Gojek yang sudah go publik, kita bisa lihat laporan keuangannya. Sepemahaman saya mereka masih minus, cash flow masih bleeding. Mereka memulai start up ini dengan bakar uang, sekarang sedang menabung untuk menutup biaya yang pernah dikeluarkan. Kalau dipaksa komisi maksimal 10 persen, justru bisa membahayakan kondisi keuangan mereka,” kata Rumayya, Rabu (17/9/2025).
Menurutnya, potongan 20 persen yang diterapkan aplikator saat ini masih tergolong wajar. Meski demikian, ia mendorong agar ada mekanisme yang lebih adil bagi mitra pengemudi, misalnya melalui kepemilikan saham. “Misalnya driver yang berkontribusi lebih dari 10 tahun bisa diberi saham 0,1 persen. Kalau perusahaan untung, driver juga ikut untung. Itu lebih fair ketimbang sekadar memaksa pemangkasan potongan,” ujar lulusan doktor dari University of Western Australia (UWA) itu.
Rumayya juga menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi aplikator. Padahal, keberadaan transportasi online telah membantu membuka lapangan kerja ketika pemerintah gagal menyediakannya di sektor formal. “Kenapa aplikator dipaksa mengikuti regulasi yang begitu ketat, sementara banyak perusahaan lain melakukan ketidakadilan terhadap karyawan tapi tidak disentuh? Saya melihat ada diskriminasi terhadap aplikator. Padahal mereka sudah berkontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja,” tegasnya.
Ia menekankan agar polemik ini tidak dibawa ke ranah politik, termasuk terkait rencana pembahasan RUU Transportasi Online. “Kalau memang ada RUU, substansinya apa? Jangan sampai ini hanya alat politik untuk merebut simpati driver. Ingat, konsumen juga punya kepentingan. Jika aturan terlalu berat ke driver, konsumen bisa dirugikan,” jelasnya.
Terkait fitur tambahan dalam aplikasi, Rumayya menyarankan agar evaluasi dilakukan berdasarkan data. “Silakan aplikator membuka datanya. Apakah driver benar-benar dirugikan atau justru terbantu dengan fitur itu. Semua harus melalui diskusi internal antara aplikator dan driver,” katanya.
Rumayya mengusulkan agar pemerintah lebih fokus memfasilitasi ruang dialog yang sehat dan berimbang, bukan intervensi berlebihan. Jika pemerintah ingin lebih serius memperhatikan kesejahteraan driver, ia menilai ada pilihan lain. “Silakan pemerintah melalui BUMN membuat perusahaan transportasi online serupa dengan komisi nol persen, atau akuisisi perusahaan aplikator yang ada. Itu lebih fair,” tuturnya.
Ia menambahkan, selama pendapatan mitra pengemudi masih di atas standar UMR per jam, hal yang perlu ditekankan adalah dukungan perlindungan, termasuk keamanan dan asuransi. “Itu jauh lebih penting untuk jangka panjang,” pungkasnya.
Sebelumnya pada Selasa (16/9/2025) beredar ajakan kepada para pengemudi ojol di Jakarta. Aksi yang digagas oleh Asosiasi Pengemudi Ojek Online Gabungan Aksi Roda Dua (GARDA) Indonesia itu akan menyampaikan sejumlah tuntutan, yakni RUU Transportasi Online diusulkan masuk dalam Prolegnas 2025-2026; Asosiasi menuntut potongan aplikator maksimal 10%; Regulasi tarif untuk layanan antar barang dan makanan; Audit investigatif terhadap pemotongan 5% yang telah diambil oleh aplikator; Penghapusan sistem slot, multi order, member berbayar, dan lainnya yang merugikan mitra pengemudi.
Berdasarkan pantauan, Rabu (17/9/2025) aksi unjuk rasa yang digelar para pengemudi onjol di depan Gedung DPR, Senayan, Tanah Abang, Jakarta Pusat berlangsung sepi. Hanya puluhan massa berjaket ojol yang hadir dalam aksi tersebut. (*)