Pemecahan Kemenkumham: Langkah Strategis atau Beban Baru?

2024-10-24T08:57:01.000Z

Penulis:Eva Pardiana

Dr. Fathul Mu'in, M.H.I. (kiri) dan Frenki, M.Si. (kanan).
Dr. Fathul Mu'in, M.H.I. (kiri) dan Frenki, M.Si. (kanan).

BANDAR LAMPUNG – Pemerintah baru-baru ini memutuskan untuk memisahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menjadi tiga kementerian terpisah, yaitu Kementerian Hukum, Kementerian Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Keputusan ini menuai beragam pandangan dari para akademisi dan pakar hukum terkait efektivitasnya.

Frenki, M.Si, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, menekankan bahwa efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada pengelolaannya. Menurutnya, kementerian yang dipimpin oleh orang yang memiliki kompetensi dan memahami bidang yang diurusnya akan berjalan dengan lebih efektif. Namun, ia mengingatkan apabila pemisahan ini dilakukan hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik, maka justru akan membebani anggaran negara.

"Segala persoalan dapat diselesaikan secara efektif apabila dikelola oleh individu yang tepat dan menguasai bidangnya, bukan semata-mata untuk posisi politik," ujar Frenki, Rabu (23/10/2024).

Frenki juga menggarisbawahi keputusan presiden dalam membentuk kementerian-kementerian baru seharusnya didasarkan pada kebutuhan nyata, bukan sekadar untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. Pemisahan ini, menurutnya, perlu dievaluasi secara berkala guna memastikan bahwa langkah tersebut tidak menambah beban biaya bagi negara tanpa memberikan hasil yang signifikan. “Jika ternyata tidak efektif, pemisahan ini harus dievaluasi kembali dan dipertimbangkan untuk dikembalikan ke struktur semula,” tambahnya.

Senada dengan hal tersebut, Dr. Fathul Mu'in, M.H.I., Sekretaris Program Studi sekaligus dosen Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung, memandang pemisahan ini sebagai langkah positif untuk meningkatkan fokus dalam menangani berbagai isu terkait hukum, hak asasi manusia, dan imigrasi. Ia menilai, dengan adanya kementerian yang lebih spesifik, tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan lebih baik.

"Langkah ini memungkinkan kementerian untuk lebih fokus pada tugas dan fungsinya masing-masing. Sebagai contoh, Menteri HAM yang baru seperti Natalius Pigai, S.IP., memiliki latar belakang yang kuat sebagai anggota Komnas HAM, sehingga ia memiliki pemahaman dan kemampuan yang lebih mendalam dalam menangani persoalan HAM," jelas Fathul Mu'in.

Lebih lanjut, Mu'in menekankan bahwa 100 hari pertama setelah pemisahan ini menjadi periode yang penting untuk mengevaluasi efektivitas langkah tersebut. “Kita harus melihat apakah ada kemajuan yang signifikan dari masing-masing kementerian dalam 100 hari pertama. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, ini bisa menjadi model kebijakan yang efektif,” ujarnya.

Namun, Mu'in juga mengingatkan bahwa pemisahan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak hanya memperbesar ukuran kabinet tanpa menghasilkan perubahan yang nyata. “Kita tidak ingin kabinet yang lebih besar tanpa hasil yang memadai. Harapannya, dengan pemisahan ini, pembangunan dan penanganan isu hukum serta sosial dapat dilakukan lebih cepat dan tepat,” tegasnya.

Keputusan untuk memisahkan Kemenkumham ini membawa harapan besar akan perbaikan tata kelola di bidang hukum, HAM, dan imigrasi. Meskipun demikian, efektivitas langkah ini masih perlu dilihat dalam waktu dekat, khususnya dalam hal bagaimana ketiga kementerian tersebut dapat berkoordinasi dan bekerja secara sinergis untuk mencapai tujuan yang diharapkan. (*)

Reporter: Al Faris & Wahyuni Lestari