UMKM
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi
BANDARLAMPUNG - Para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal mencurahkan keluh-kesahnya atas produk China yang membanjiri social commerce dan e-commerce dengan harga yang miring.
Pada Senin, 14 Agustus 2023, para pelaku UMKM lokal melakukan audiensi dengan pihak Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenkopUKM) untuk membicarakan soal produk China yang mengancam keberlangsungan bisnis para pedagang produk lokal.
Seorang pengusaha produk fesyen lokal bernama Dian mengatakan, ia menyoroti bagaimana produk-produk impor, khususnya dari China, bisa diperjualbelikan di platform social commerce seperti TikTok dengan bebas tanpa dikenai pajak.
Ia mengatakan, sebagai pelaku UMKM lokal, pihaknya melakukan produksi secara mandiri, dan banyak dari pekerjanya yang merupakan kepala keluarga dari beragam daerah di luar ibu kota.
Namun, bisnisnya kini terancam dengan produk-produk China yang bisa dengan mudahnya dijajakan di kanal-kanal digital tanpa dikenai pajak dan ditawarkan dengan harga miring yang bahkan tidak masuk akal.
"Kita sudah wajib pajak, tapi sedih ketika produk China datang secara bebas. Di marketplace, kita butuh sekali pengawasan untuk keadilan," kata Dian.
Dian pun menjelaskan pada kuartal keempat setiap tahun, biasanya penjualan di online shop akan mencapai titik tertingginya dalam rentang waktu setahun.
Berhubung kuartal keempat sudah semakin dekat, maka ia dan pelaku-pelaku UMKM lokal lainnya pun meminta dukungan dari pihak regulator agar UMKM domestik bisa berjaya di negeri sendiri.
Dian juga menceritakan bagaimana pada saat memasuki era pandemi, sebenarnya produk-produk lokal sedang menunjukkan taringnya di dalam negeri.
Tidak sedikit masyarakat yang mulai lebih menaruh minat kepada produk-produk lokal pada saat itu. Namun semuanya berubah saat pandemi mulai mereda, pada saat itu produk-produk impor dari China mulai semakin marak diperjualbelikan.
Mirisnya, banyak pedagang dari dalam negeri yang mencomot foto-foto produk lokal dan menjual produk yang mirip, tapi berasal dari China dan didagangkan dengan harga yang jauh lebih murah.
Kesenjangan harga antara produk lokal dan impor ini bahkan bisa mencapai 20-30%. Dengan perbedaan yang signifikan itu, masyarakat awam pun tentunya akan lebih memilih produk dengan harga yang jauh lebih murah.
Sebenarnya Dian sendiri tidak merasa masalah apabila produk-produk impor masuk ke Indonesia, namun diperlukan regulasi yang ketat untuk melindungi pelaku UMKM dalam negeri.
Kemudian, seorang pengusaha konveksi asal Bandung bernama Subagja pun mengemukakan bagaimana sulitnya untuk bersaing dengan produk-produk China.
Meskipun produk lokal yang dijajakan di platform digital memiliki kualitas yang lebih baik dibanding produk impor sekalipun, namun dengan harga produk impor yang sangat murah tentunya masyarakat akan beralih dari produk-produk lokal.
"Banyak barang murah yang masuk sehingga konveksi kecil seperti kita sulit untuk bersaing dengan China," ujar Subagja.
Fenomena banjirnya produk murah dari China di platform digital ini pun dapat ditafsirkan sebagai bentuk dari predatory pricing yang dapat merugikan bagi pelaku bisnis lokal, khususnya di level UMKM.
Subagja pun menjelaskan bahwa pihaknya sulit untuk bersaing dengan produk impor yang membanting harga hingga ke level yang ekstrem.
Dengan harga yang terlalu dijatuhkan oleh produk impor, bahkan Subagja sebagai pelaku konveksi menyatakan bahwa dari segi harga pokok penjualan (HPP) saja pihaknya sangat sulit untuk mengejar.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (MenkopUKM) Teten Masduki membenarkan bahwa produk-produk China terus memenuhi e-commerce dalam negeri.
Dengan demikian, pelaku UMKM lokal pun terancam karena preferensi masyarakat bergeser ke pedagang-pedagang yang menjajakan produknya dengan harga lebih murah.
Menurut Teten, dewasa ini banyak sekali produk-produk e-commerce yang harganya sangat dibanting sampai terkesan tidak logis. Sehingga, dari segi harga pokok penjualan (HPP) saja pelaku UMKM lokal tidak bisa mengejar.
"Bayangkan saja ada yang jual celana sampai Rp2.000, dari HPP saja (pelaku UMKM lokal) tidak bisa mengejar," ujar Teten.
Disampaikan oleh Teten, regulasi yang ada saat ini terlalu longgar dalam mengatur perdagangan elektronik sehingga produk-produk dari luar pun membanjiri kanal-kanal marketplace sehingga mengancam bisnis pedagang lokal.
Oleh karena itu, Teten pun kembali menekankan pentingnya revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 untuk melindungi para pelaku UMKM lokal yang semakin terhimpit oleh produk-produk dari China.
Selain revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020, Teten pun mengungkapkan kembali usulannya yang pernah diajukan sebelumnya mengenai produk-produk impor untuk masuk Indonesia lewat Pelabuhan Sorong.
Menurut Teten, dengan posisi pelabuhan yang ada di bagian timur Indonesia sementara pasar utama berada di wilayah Jawa, maka biaya distribusi untuk produk impor pun akan bertambah sehingga harganya bisa lebih berkompetisi dengan produk-produk UMKM dalam negeri.(*)