Meski Tak Terdampak Kasus Bangkrutnya SVB, OJK Ingatkan Bank Kelola Risiko Pasar dan Likuiditas

2023-04-07T19:10:19.000Z

Penulis:Yunike Purnama

Editor:Redaksi

Ilustrasi Bank
Ilustrasi Bank

BANDARLAMPUNG - Deputi Komisioner Pengawas Bank Pemerintah dan Syariah OJK, Bambang Widjanarko menjelaskan adanya pembelajaran dari kasus bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat (AS).

Menurutnya, krisis perbankan global seperti SVB ini tidak berdampak langsung terhadap industri perbankan tanah air. Hal itu disebabkan karena tidak adanya keterkaitan langsung antara perbankan Indonesia dengan SVB secara bisnis.

"Di sisi lain, kegalalan dari SVB sebagai lembaga kepercayaan mau tidak mau ini juga mempunyai pengaruh termasuk perbankan tanah air karena industrinya sama," ujarnya dalam Webinar LPPI.

Namun, kondisi perbankan di Indonesia sejauh ini masih relatif stabil. Hal ini tercermin dari peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), likuiditas, permodalan, dan penyaluran kredit perbankan pada Februari 2023.

Hingga Februari 2023, penyaluran kredit industri perbankan telah mencapai Rp 6.375,3 triliun pada Februari 2023. Nilai tersebut tumbuh 10,64% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adapun DPK mencapai Rp 7.989 triliun pada Februari 2023, tumbuh 8,18% yoy.

Sedangkan untuk permodalan, Capital Adequacy Ratio (CAR) industri perbankan berada di level yang cukup tinggi yakni sebesar 26,1%, dibandingkan Januari 2023 yang berada di angka 25,88%.

Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) pada Februari 2023 masing-masing sebesar 129,58% dan 29,09%. Nilai tersebut jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50% dan 10%.

"Meski demikian, waspada terus kami lakukan. OJK bukan saja memandang industri ini karena baik, tapi kami juga secara individu melakukan pemantauan secara ketat bagaimana pengaruh dari kondisi global," ungkapnya.

Berkaca dari bangkrutnya SVB tersebut, Bambang menjelaskan ada empat pembelajaran yang bisa diambil oleh perbankan nasional dan OJK sebagai regulator. 

Pertama, concentration risk. Dalam hal ini, menjaga eksposur risiko yang terkonsentrasi pada sumber pendanaan, penyaluran dana, maupun debitur tertentu.

"Kita menilai bahwa stabilitas sistem jasa keuangan menjadi prioritas karena apabila tidak ditangani dengan baik maka recoverage atau penyembuhannya menjadi dana yang luar biasa. Maka stabilitas jasa keuangan menjadi kunci utama," jelasnya.

Kedua, market risk. Perbankan dapat mengantisipasi perubahan nilai aset terutama yang diakibatkan perubahan harga dan suku bunga.

"Hal ini agar industri perbankan berkembang baik. Maka kondisi likuiditas, kebijakan likuiditas, dan kondisi likuiditas makro yang ample, saya pikir ini juga penting," ungkapnya.

Selanjutnya yang ketiga, liquidity risk. Perbankan melakukan pemantauan likuiditas, pengolaan aset dan liabilitas dan meninjau opsi likuiditas yang dimiliki. 

Di sisi lain yang harus dipelajari adalah peran dan fungsi penjaminan kredit. Hal Ini berkaitan dengan perluasan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

"Kami juga mempelajari bagaimana regulator dari negara lain melakukan tindakan berkaitan kegagalan suatu bank dan upaya menanganinya. Ini menjadi pembelajaran bagi kita bagaimana kita membangun industri keuangan," ujarnya.

Keempat, reputation risk. Perbankan dapat mengelola informasi publik untuk menjaga reputasi bank, sistem keuangan, serta kepercayaan masyarkat. 

Ia bilang, hal lain yang bisa jadi pembelajaran yaitu adanya kerangka regulasi yang akomodatif secara cepat, tepat, terukur dengan pertimbangan yang cukup matang.

"Apalagi di situasi yang mendesak ini, ternyata ini bisa dilakukan dan diambil oleh otoritas. Ini bisa menjadi penyelamat dan solusi di tengah menghadapi kondisi perbankan seperti saat ini," pungkasnya. (*)