penerimaan cukai
Penulis:Yunike Purnama
Editor:Redaksi
JAKARTA – Upaya optimalisasi penerimaan negara dan pengendalian konsumsi melalui kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) ternyata masih menemui tantangan.
Sebab, kenaikan tarif cukai 10% pada 2023—2024 justru memicu maraknya peralihan konsumsi ke rokok murah (downtrading), yang dampaknya merugikan negara karena turunnya penerimaan dari CHT. Adapun, realisasi penerimaan CHT per April 2023 turun 5,16% yoy menjadi Rp72,35 triliun.
Peneliti Center Of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Roosita Meilani mengatakan turunnya penerimaan negara dari CHT dan fenomena downtrading menunjukkan tidak fokusnya pemerintah akan tujuan implementasi cukai.
“Downtrading merupakan pemasalahan yang serius karena efeknya tidak hanya pada penerimaan negara, tetapi juga meningkatkan konsumsi rokok murah. Konsumsi masyarakat jadi tidak berkurang, sehingga indikator penurunan prevalensi perokok pun tidak akan tercapai,” ujarnya.
Roosita mengatakan Pemerintah juga harus menimbang perilaku konsumen saat menentukan kebijakan cukai. Saat ini struktur cukai rokok masih sangat rumit dengan banyak layer. Kenaikan cukai tanpa disertai perbaikan struktur cukai tidak efektif dalam upaya pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara. Konsumen berpindah ke produk yang lebih murah selama ada pilihan. Dalam RPJMN 2020 – 2024, Pemerintah ditarget untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7%.
“Memang variabel kenaikan CHT tarifnya selalu naik rata-rata 10% ke atas gitu ya tapi layernya cukup banyak, ini juga akan memberikan peluang downtrading. Downtrading ini yang harus diantisipasi karena berakibat pada penurunan penerimaan negara yang cukup signifikan," katanya. Kekhawatiran lainnya, rokok yang harganya lebih murah makin mudah dijangkau anak-anak.
Sementara itu, Project Lead Tobacco Control Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI) Iman Zein mengatakan peralihan konsumsi ke rokok murah terjadi sebagai upaya konsumen agar tetap bisa merokok di tengah tekanan ekonomi ataupun ketika harga rokok naik.
Variasi harga rokok terjadi akibat struktur tarif cukai yang memiliki banyak layer dengan selisih tarif yang lebar antar golongan sehingga menyebabkan opsi konsumen terhadap produk rokok dengan harga murah masih terbuka. Konsumen punya banyak pilihan rokok yang lebih murah, termasuk memilih rokok yang dilinting sendiri (tingwe).
“Walaupun tarifnya naik, adanya perpindahan golongan menyebabkan konsumsi tidak terkendali dan potensi pengurangan penerimaan negara,” ujarnya.
Selain itu, kata Iman, banyaknya layer pada struktrur cukai membuka peluang untuk konsumen berganti ke merek lain yang golongannya lebih rendah. Situasi ini seharusnya menjadi fokus pemerintah untuk memastikan harga rokok naik, sehingga rokok semakin sulit dibeli. (*)